BAB IX : Sama-sama Terluka

698 127 3
                                    

Nakula menghela napas panjang sebelum masuk ke kamar rawat Bima. Dokter Irwan memang belum memperbolehkan Bima untuk pulang, Nakula langsung menghampiri Bima yang tengah memainkan ponselnya, sedikit heran karena tidak melihat presensi Ibu, Bapak dan Srikandi. 

"Belum ada yang datang ke sini Mas?" Nakula memposisikan tubuh lelahnya di sofa kecil yang ada di sana, memandang Bima yang meletakkan ponselnya di atas meja. 

"Belum, kamu tahu sendiri mereka kan lagi kerja." Bima menghela napas panjang, menatap Nakula yang tengah memijat pelipisnya. 

"Kenapa mukanya suntuk gitu?" Bima bukannya khawatir, namun rasanya semakin menyebalkan saat melihat wajah Nakula yang suntuk karena suasana hatinya memang sedang tidak baik. Bima menarik napas panjang menatap Nakula yang terlihat lesu, rasanya hampa sekali tanpa Ibu, Bapak dan Srikandi. Bukannya apa-apa hanya saja rasanya semakin ke sini, semakin dia mengejar semua bahagia yang ingin dia raih, semakin dalam dia merasa hampa. 

"Capek aku, Mas. Pengen berhenti aja, bukannya bahagia, setiap hari cuma ada rasa bersalah yang makin menggunung, Bapak sama Ibu juga tetap sibuk dan waktunya cuma buat mas, aku ngerasa sia-sia." Nakula hanya lelah, lelah dengan beban batinnya, sebagian karena memikirkan perkataan pandu yang sialnya banyak benarnya dan sebagian memikirnya keluarganya yang baru dia sadari begitu porak poranda. Dia terlalu mengejar banyak hal dan baru menyadari disaat bersamaan dia juga kehilangan banyak hal yang sudah dia dapatkan. 

"Kita udah sejauh ini, hidup Sadewa udah hancur, sebentar lagi dia akan menyerah dengan kehidupannya." Bima mengatakan itu dengan sorot mata tajamnya, dia memiliki obsesi yang begitu kuat dalam hidupnya.

"Begitu juga hidupku,Mas. Bagaimana pun, aku masih punya ikatan batin sama dia. Mas, pernah nggak satu hari aja, Mas mikirin perasaan kita? Sejak Mas kecil, semua perhatian tertuju ke Mas, apa itu belum cukup untuk mendapatkan definisi bahagia?" Nakula menatap Bima yang memilih memalingkan wajahnya, Bima memiliki alasan, Bima memiliki penjelasan atas sikap buruknya, Bima juga tidak bahagia, Bima ingin mundur, namun langkahnya sudah terlalu jauh.

"Mas harusnya bersyukur masih diberi kehidupan sampai umur Mas saat ini dengan segala keterbatasan keluarga kita,Mas." Nakula menarik napas panjang, kepalanya mendadak terasa penuh.

"Mas, harusnya bersyukur karena mas mematahkan vonis dokter, mas sudah melewati waktu dua tahun dari perkiraan dokter, mas harusnya bersyukur, bukan mencoba merebut hidup orang lain, mas paham rasanya takut mati kan? bukankah harusnya mas nggak ngebiarin orang lain merasakan hal yang sama?" Nakula menyandang kembali tasnya di pundak, rasanya memuakkan dan menyesakkan, sosok Bima di matanya akan selalu menjadi sosok yang egois dan memaksakan kehendak.

"Mas egois." Nakula menutup pintu kamar rawat Bima, meninggalkan Bima yang memilih meremat selimutnya kuat-kuat. Mengingat sebuah tangan kecil yang terulur kepadanya saat dia terjatuh, tangan kecil Sadewa mengusap air matanya dan mengusap dadanya dengan lembut. Sadewa, Nakula dan Srikandi terlalu baik untuk menjadi saudaranya, dan dia terlalu buruk dan lemah untuk menjadi saudara mereka. Mereka terlalu sempurna, sedangkan Bima merasa bahwa dirinya terlalu banyak memiliki kekurangan. Bima menarik napas panjang, dadanya terasa sesak sehingga dia memilih mencoba mengistirahatkan pikirannya. Bima juga merasa kesepian sekarang dan jika boleh dibilang, Bima juga menyesal.

Srikandi menarik napas panjang, dia begitu lelah karena pulang pagi dan baru bangun saat jam menunjukkan jam makan siang, seharusnya ada seseorang yang pergi ke rumah sakit untuk menjaga Bima. Namun, Srikandi malah mendapati hal lain, Bapak dan Ibu terlihat sibuk menyusun buah manggis di sebuah kotak, beberapa buah-buahan yang sudah dipotong dan rantang makanan. 

"Aku pikir Bapak atau Ibu ke rumah sakit." Srikandi duduk di kursi sembari meneguk segelas air putih dan menatap Bapak dan Ibu yang sibuk dengan buah manggis dan terlihat begitu bahagia, kontras sekali dengan kondisi selama dua minggu belakangan. 

DONG [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang