Jam dinding antik itu telah menunjukkan pukul 5:30 sore, Mansion Qian yang tadinya kosong kini kembali dihuni kembali si pemilik dan kedua putranya dengan setelan berwarna hitam legam.
Tak ada kata yang seperti biasanya terucap jika memasuki rumah. Ah, akhirnya kita kembali ke rumah. Atau, aku mau mandi. Dan si ayah akan menyahut, lebih baik kalian beristirahat. Tidak, tidak. Kun, Reyjune, dan Richene hanya membisu hingga pintu mansion tertutup.
Saat berjalan di belakang kedua anaknya, Kun sulit mengungkapkan apapun barang sepatah kata. Mulutnya bak dijahit paksa, bahkan sekadar meminta mereka untuk membersihkan badan lalu mengganti pakaian.
Richene naik ke lantai atas, bersama Reyjune yang masih mendekap bingkai besar menunjukkan gambar mendiang ibunya. Langkahan kaki keduanya terdengar sama, mampu memecah kesunyian dan masih menarik pandangan Kun yang tetap berada disana memastikan mereka tiba di lantai atas.
Sesampainya di kamar, Reyjune terus melangkah menuju gambar besarnya bersama Richene yang tergantung. Perlahan ia menurunkan foto tersebut lalu menggantinya dengan foto Huanran yang manis. Liontin yang sebelumnya ingin Reyjune berikan sebagai hadiah untuk Huanran, dipilihnha untuk dipasangkan pada boneka Moomin pemberian Huanran sewaktu ia kecil. Pemandangan ini dapat menjelaskan, jika Reyjune masih sangat terpukul.
Richene yang mengamatinya hanya bisa menghela nafas berat, mengamati kakaknya yang kini tiba-tiba berubah seperti adiknya. Reyjune yang sangat sabar dan dewasa seperti sedang bersembunyi dibalik Reyjune yang rapuh dan tenggelam begitu dalam pada kesedihannya. Sudah sepastinya Richene pun terpuruk. Tetapi beruntungnya ia mampu mengontrol kesedihan itu. Berbeda jauh dengan Reyjune yang sangat tak bisa merelakan kepergian ibu mereka.
Kaki Richene tergerak melangkah menghampiri Reyjune, menarik lembut untuk dipeluknya. Disisi lain Richene sangat bersyukur, setidaknya Tuhan masih mengizinkannya hidup bersama seorang ayah yang sangat kuat, serta seorang kakak yang selalu mengajarkannya apa itu sikap dewasa yang sebenarnya.
• • •
Mansion Nakamoto
Nakamoto Yuta tetap betah menatap putrinya yang sedang melihat keluar jendela. Di luar sana sedang hujan deras, menyebabkan kaca sedikit terhalang oleh tetesan air yang menetap dengan hembusan sejuk.
Nakamoto Dyrin menopang wajahnya dengan kedua tangan, memikirkan dan menunggu sesuatu dengan raut wajah yang murung.
"Rin." Panggil Yuta lembut membuatnya tersadar. Pria itu mendekat, lalu duduk di samping Dyrin sebelum menyelipkan anak rambutnya ke belakang telinga. "Kamu lagi apa?"
Dyrin sepertinya kurang bersemangat menjawab Yuta. Tanpa membalas semestinya, Dyrin malah memanggil. "Papa."
Yuta berdehem. "Ya, kenapa anaknya papa?"
"Kak Jean."
Yuta tertegun.
"Kak Jean kok udah gak pernah ke rumah?"
Mendengar pertanyaan Dyrin, Yuta sengaja tak langsung menjawabnya. Tangannya mengelus surai Dyrin, hingga ia merasa sudah cukup lama membuat si bungsu penasaran. "Kak Jean lanjut sekolah di Jepang, tempat mama kerja. Jadi dia gak bisa ketemu sama Rin untuk sementara waktu."
Perlahan Dyrin menoleh, memperlihatkan matanya yang mulai berair. "Aku rindu sama Kak Jean, pa. Aku rindu Kak Jean." Lirih Dyrin dan berakhir menangis. "Rin udah lama gak ketemu kakak."
Yuta meraih Dyrin, merengkuhnya hangat untuk ditenangkan. Yuta tahu jika Dyrin merasa terpuruk akan kepergian Kim Jeanne yang tak sempat berpamitan. Namun mau bagaimana lagi, waktu Jeanne untuk berkunjung ke Mansion Nakamoto terhalang oleh insiden penculikan Dyrin saat itu.
Dyrin menangis tak bersuara dalam rengkuhan ayahnya yang kini menepuk-nepuk ringan bahunya. Bahkan Yuta dapat membandingkan betap Dyrin sangat sedih berpisah dengan pengasuh yang sudah beberapa tahun bersamanya daripada berpisah dengan ibunya sendiri.
Secara tak sengaja ekor mata Yuta menangkap kepulangan seorang remaja bermotor sport di bawah derasnya hujan. Yuta kian memincingkan mata, hendak memastikan jika itu memang Dylan. Sontak ia bangkit masih dengan memeluk Dyrin, segera turun ke lantai dasar setelah tahu kalau Dylan kembali dengan keadaan yang sangat basah.
"Bi." Seru Yuta sambil menuruni anak tangga. "Tolong ambil handuk di lemari."
Begitu tiba di lantai dasar, Yuta menunggu pada ambang pintu bersama Dyrin yang kebingungan. Maid datang membawa selembar handuk permintaan Yuta, lalu diraih Yuta yang memintanya untuk kembali bekerja.
Tak lama berselang, Dylan muncul sepenuhnya. Pakaiannya yang basah, helmetnya yang berkondisi tak jauh berbeda, rambutnya yang berantakan, juga raut wajahnya yang tampak tidak bersahabat.
Yuta menghela nafas berat, berpikir entah sejak kapan emosinya bisa stabil untuk kondisi Dylan yang menganggap remeh hal-hal seperti ini. Beberapa waktu belakangan, Yuta selalu saja sulit marah atau menyalahkan apa-apa seperti sebelumnya. Yuta biasanya bersikap tegas di depan anak-anak agar menurut.
"Kamu dari mana?" Tanya Yuta, menyebabkan Dyrin melihatnya sekilas namun tidak dengan Dylan. Lelaki itu menunduk, menatap ujung sepatu yang ditetesi air dari rambutnya. Melihat Dylan tak memberi respon, Yuta kembali bertanya. "Kamu dari bandara?"
"Iya."
Dyrin mengusap wajahnya sesaat sebelum bertanya dengan lembut. "Kak, kakak kenapa? Kakak sedih?"
Mendengar Dyrin dengan nada yang menciut, Dylan pun berusaha menghembuskan nafas dengan tenang. Sebenarnya emosi Dylan telah meledak-ledak di ubun-ubun kepala, tetapi ia sadar jika ia marah dan lebih baik hanya menyalahkan dirinya sendiri, bukan orang lain.
"Gakpapa." Jawab Dylan singkat pada Dyrin kemudian berjalan masuk setelah menerima handuk dari sang ayah.
Dyrin kembali bertanya dan membuat langkah kakaknya terhenti. "Kak, kamu kan janji sama aku mau bawa Kak Jean."
Dylan memejamkan mata seraya melipat kedua bibirnya yang sudah bergetar. Untuk sesaat Ia benar-benar henyak di tempat. Butuh waktu beberapa sekon sebelum Dylan kembali menoleh pada Yuta dan Dyrin. "Nanti—kakak bakalan bawa dia, ya. Atau—kakak yang bawa Rin ke dia."
Setelah itu Dylan melangkah ke atas, acuh tak acuh pada adiknya mengerti jawabannya atau tidak. Yuta menatap lamat Dylan melangkah dengan sikap dinginnya yang mungkin hatinya juga sedang sangat terpuruk sama seperti Dyrin.
KAMU SEDANG MEMBACA
SUPERIOR MANSION ✓
FanficNever mess with families in this superior place! 2019.