7. sedikit terungkap

17.5K 3.4K 311
                                    

Mansion Qian

Di pertengahan malam kali ini, lampu belajar di meja milik Qian Richene terlihat masih menyala. Empunya pun masih memperlihatkan tanda-tanda kehidupan, terjaga di saja dengan pikirannya sendiri. Sementara sang kakak sudah terlelap sedaritadi di dalam balutan selimut tebalnya.

Begitu Richene menghabiskan waktu untuk melamun seraya memandangi selembaran putih, tiba-tiba pintu kamarnya terbuka, menghadirkan ayahnya yang telah mengenakan piyama dengan warna senada. Qian Kun segera menghampiri Richene, khawatir jika sesuatu telah terjadi pada si bungsunya.

"Nak," panggil Kun menghampiri Richene. "Kamu kenapa belum tidur?"

"Aku lagi mikirin tugas sastra, ba."

Kun memeriksa tugas apa yang mengakibatkan beban pikiran pada Richene malam ini. Begitu menemukan penyebabnya, dahi Kun mengerut. Ia bertanya, "tugas sastra?"

Richene mengangguki perkataan Kun, "aku diminta untuk buat puisi tentang ibu, Jinan juga. Tapi kan—kita gak punya ibu, baba. Jadi bingung mau nulis apa."

Jawaban Richene menohok batinnya, memberi tantangan untuk Kun dalam sekejap. Kun dapat memaklumi jika anaknya pun membutuhkan figur seorang ibu di tengah-tengah pertumbuhannya. Tetapi, Kun belum bisa mewujudkan satu keinginan anak-anaknya itu. Kun belum mampu melupakan masa lalunya.

Akhirnya Kun mengusap puncak kepala Richene. "Sini baba bantu."

Ia menggeser kursi belajar milik Reyjune menuju sebelah Richene, dengan sabarnya mengajari Richene satu persatu kata yang berkaitan dengan seorang 'ibu'. Kun hanya bisa memintamaaf dalam hatinya karena masih mengutamakan egonya yang belum siap bersanding dengan wanita lain, membuat anak-anaknya merasakan kasih sayang dari seorang wanita.

Di tengah-tengah pembelajaran mereka tentang sastra, Kun dan Richene tak menyadari bahwa si sulung sedang berusaha menahan air matanya mendengar percakapan sang ayah dan adik. Meskipun Reyjune sempat merasakan kasih sayang ibunya hingga ia berumur 2 tahun, tapi Reyjune kini sudah sangat lupa bagaimana wajah dan suara orang yang telah melahirkannya itu.

• • •

Pada kediaman lain, nampak seorang Jung Jeffrey tengah mengamati ponselnya yang sedang bergetar pertanda memiliki panggilan masuk. Sejujurnya, sudah sedari kemarin Jeffrey mendapat panggilan itu, tetapi Jeffrey mengurungkan niatnya untuk menjawab telepon setelah tahu siapa orang yang berusaha menghubunginya saat ini.

142 panggilan tidak terjawab dari nomor yang sama sudah diabaikan olehnya, dan mungkin deretan panggilan itu berhasil membuatnya lelah. Setelah panggilan ke-143 muncul, Jeffrey pun menyerah dan menggeser tombol hijau yang berada di layar ponselnya.

"Halo, Jung Jeffrey? Akhirnya kamu jawab telepon aku."

"..."

"Aku gak meminta apa-apa, Jeff. Aku cuma mau ketemu sama anak kita."

"Anak kita lo bilang? Anak kita?" Jeffrey berusaha menahan amarahnya yang kini sudah meluap di tingkat teratas kepalanya. "Jangan pernah berani muncul di hadapan dia setelah apa yang lo lakukan. Jangan pernah mencoba melakukan hal-hal yang membuat gue gak akan pernah mau melihat lo, bahkan menjawab telepon lo lagi."

"Tapi, Jeff"

"Dia anak gue, bukan anak kita."

"Tolong sekali aja—"

Jeffrey memutuskan sambungan secara sepihak. Setelah menyimpan ponselnya di atas meja, pria itu menoleh ke arah jendela yang memperlihatkan jalanan yang di luar sana. Ternyata sedang gerimis, beruntung langit yang menggantikan dirinya menangisi masa lalunya.

Beberapa detik berlalu, akhirnya Jeffrey putus asa dan menemani langit melakukan hal yang sama. Ya, ayah tegas bagi seorang Jung Jonathan kini tengah menangis.

Ia tidak habis pikir, setelah dulu Ia benar-benar ingin bertanggung jawab atas kesalahannya dan bahkan rela melepas karirnya di dunia permodelan, Jeffrey harus menelan kenyataan menyedihkan jika orang yang telah mengandung anaknya pergi setelah Jung Jonathan berumur 1,5 bulan. Wanita itu pergi begitu saja, meninggalkan Jeffrey yang harus menanggung semuanya sendirian. Dan kini? Rasa penyesalan wanita itu sengaja Ia tampakkan agar Jeffrey mau menerima dirinya kembali.

Tetapi, Jeffrey tidak begitu bodoh. Bukannya Ia tidak peduli dan sengaja berbuat kejam. Tapi Jung Jeffrey sudah tidak bisa melihat orang yang akan selalu membuatnya berpikir ke belakang.

Jeffrey mengusap air matanya pelan dan berdehem, mengisi kekosongan ruang pribadinya dalam larut malam. Celah pintunya yang sedikit terbuka memberi kesempatan pada Jonathan yang sedang berdiri dan mengepalkan tangannya. Jonathan kecewa, setelah tahu bahwa Jeffrey telah berbohong tentang ibunya yang sudah meninggal.

• • •

Pagi Hari,
di Mansion Lee

"Lee Jinan." Panggil Tyrese yang sedang duduk di meja makan, "kamu ke sini dulu, papa mau bicara." Pintanya.

Jinan berdehem sesaat, menyimpan tasnya di atas permukaan kursi dan duduk di samping Tyrese. Begitu menatap Tyrese, Jinan pun bertanya, "kenapa, pa?"

"Papa mau kamu jujur, dan jangan menutupi semuanya. Papa gak pernah ajarin kamu bohong."

Alis Jinan berkerut mendengar penuturan Tyrese. Apa Jinan telah membuat kesalahan? Kenapa Jinan tidak sadar jika ia sudah membuat kesalahan itu?

"Jawab yang benar, siapa itu Ashley?"

Jinan tersentak, namun remaja Lee itu berusaha terlihat tenang. "Dia temen Jinan di sekolah, pa. Jinan bersumpah, dia cuma temen Jinan."

"Papa kan udah bilang, kamu harus menghindar dari perempuan. Fokus sama pelajaran kamu, les kamu. Lagipula kamu udah punya temen-temen selain perempuan, kan?"

Penuturan Tyrese membuat anaknya menghela nafas berat. Yang benar saja hidupnya harus terus seperti ini? Tidak lama kemudian, Jinan nampak memejamkan matanya dan menyebabkan dahi Tyrese heran.

"Apa? Kamu kenapa?"

"Kenapa papa gak percaya sama Jinan? Dari dulu, Jinan udah menjauh dari cewek seperti yang papa bilang. Jinan juga udah sering dibilang sombong sama teman-teman Jinan karena hal ini. Sekarang, apa Jinan bisa bertanya satu hal gak, pa?"

Tyrese menatap Jinan terkejut, menemukan di tunggal yang kini mampu menjawabnya dengan kata-kata yang tidak sedikit.

"Apa alasan papa melarang Jinan seperti ini? Pa, aku udah gede. Aku bukan Jinan yang masih kecil lagi, pa."

Penjelasan itu membuat Tyrese membuang pandangannya ke arah lain. Sesaat kemudian Tyrese menjawab, "ini bukan saatnya kamu tahu tentang itu. Kamu hanya perlu menuruti perkataan papa untuk belajar dan menari. Paham? Ini juga untuk masa depan kamu."

Tanpa menunggu jawaban Jinan, Tyrese bangkit seraya meraih tas kantornya.

"Kamu sarapan dan jangan lama-lama. Nanti kamu telat ke sekolah."

"Pa—" ucapan Jinan sekali lagi menghentikan pergerakan Tyrese. "Jinan boleh ketemu mama gak? Mama masih ada kan, pa?"

Tyrese tidak menanggapi perkataan Jinan, terus melangkah untuk menyambar kunci mobil di atas sebuah meja kemudian beranjak menuju garasi. Sikap Tyrese pagi ini membuat anaknya sedikit kesal. Namun Jinan berpikir, jika saat ini, ia tidak boleh berani keluar dari jalur permintaan ayahnya.

Superior MansionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang