Seorang gadis kecil tak kunjung usai menatap dirinya melalui pantulan cermin. Dia sedikit bingung, melihat hari ini ayah, kakak, dan dirinya diharuskan menggunakan pakaian serba hitam, tidak bebas menentukan warna lain seperti hari-hari biasa.
Si gadis kecil Dyrin menemukan ayahnya yang berdiri di ambang pintu kamar. Pria itu bertanya, "Dyrin udah selesai?"
"Iya, papa. Udah." Balasnya ringan dan berjalan meraih tangan Yuta. "Papa, kita mau kemana? Kok aku, papa, dan kakak pakai baju hitam?"
"Sayang, kita mau datang ke tempat kremasi mamanya Kak Reyjune dan Kak Richene."
Alis Dyrin menyatu. "Kremasi? Apa itu? Memangnya mama Kak Rey kenapa?"
Yuta tersenyum tipis, mengingat anaknya mungkin masih tabu membahas mengenai kematian. Yuta lantas berjongkok agar dirinya dapat berhadapan dengan Dyrin. "Mamanya meninggal, Rin. Dia tidur panjang dan gak akan pernah bangun lagi. Perlu Rin tahu, semua orang di dunia ini akan meninggal."
"Tapi papa gak akan ninggalin Dyrin, kan? Papa gak akan biarin Dyrin sendiri, kan?" Raut Dyrin dibuat murung setelah mendengar ungkapan Yuta.
Yuta hanya tersenyum tipis, mengelus pipi tembam anak gadisnya. Yuta lalu mengecup kilat dahi Dyrin dan kembali bangkit, berjalan keluar menuju letak mobil yang terparkir di depan pintu masuk mansion.
Sebelum keluar dari kediamannya, Yuta menemukan kehadiran Dylan yang gelisah sambil melihat layar ponselnya. Sudah sejak kemarin Dylan tampak memikirkan sesuatu yang mungkin kurang baik, tentu membuat Yuta penasaran.
"Lan, ayo ke mobil."
Dylan berdehem dan menjauhkan ponsel. "Pa, aku nyusul ke sana pakai motor. Aku ada keperluan, penting banget. Aku bakalan datang kok, sumpah."
Entah kenapa batin Yuta terus saja membiarkan Dylan melakukan apa yang dia inginkan akhir-akhir. Tidak seperti sebelum-sebelumnya, dimana Yuta akan mempertimbangkan dengan rinci apa itu bisa dibiarkan atau dengan cepat ia tolak. Untuk sekarang Yuta tak tahu. Batinnya menjadi tidak tenang, sama seperti yang Dylan rasakan sekarang.
"Jangan datang terlambat. Limabelas menit lagi mamanya Rey dikremasi."
Dylan mengangguk semangat, menatap Yuta dan Dyrin menjauh bersama lalu masuk ke dalam mobil. Dylan kembali melihat layar ponselnya, berusaha menghubungi kontak Kim Jeanne, perempuan yang mampu membuatnya gelisah sejak hari itu.
"Angkat, please. Lo dimana, sih?"
Hanya operator yang bersedia menjawab panggilan Dylan, memberi isyarat bahwa Dylan dapat meninggalkan pesan suara saja. Itu terus terdengar di telinganya berulang kali hingga menyebabkannya kesal. Akhirnya Dylan menyerah, memilih meninggalkan pesan suara secara tergesa-gesa.
"Jean, gue tahu gue udah kelewatan waktu itu. Maaf kalau tindakan dan perkataan gue menyakiti perasaan lo. Maaf kalau gue menyalahkan lo tanpa menyadari tuduhan gue. Please seenggaknya jawab telepon gue. Dyrin butuh lo, dan—dan gue juga butuh lo. Please, jangan menghindar bahkan saat gue mencoba datang ke kafe dan tempat tinggal lo. Jawab ya? Please." Dylan memohon seolah Jeanne ada di depannya.
Setelah mengirimkan pesan suara pada nomor telepon Jeanne, Dylan menjadi senyap. Helaan nafasnya terdengar berat, jemarinya beralih memijat pelipis. Usai berpikir sejenak, lelaki itu lantas berjalan menuju garasi tempat motornya tersimpan.
Dylan segera melesat ke rumah abu, tempat Huanran atau ibu Qian bersaudara dikremasi. Tak begitu jauh, jadi meskipun Dylan membawa motor dalam kecepatan normal, ia mampu untuk tiba bersamaan dengan Yuta.
Setibanya, setelah memarkir kendaraan kesukaan dan bertemu dengan sang ayah juga adiknya, Dylan melangkah masuk ke dalam rumah abu dan area kremasi sembari mengaitkan kancing jas hitam yang dikenakan.
KAMU SEDANG MEMBACA
SUPERIOR MANSION ✓
FanfictionNever mess with families in this superior place! 2019.