Selamat membaca...
.
.
.Hari-hari berlalu begitu cepat. Satu tahun sudah aku melahirkan. Bayi kecilku kini sudah menjadi balita yang sangat menggemaskan. Begitu juga dengan Naufal putraku. Dia sudah pandai bicara dan berjalan, usianya sudah menginjak empat tahun. Sesekali dia juga sudah bisa makan sendiri tanpa harus lagi di suapi.
Balitaku bernama Muhammad Ibrohim At-tirmidzi. Nama yang di berikan Gus Raza pada putra kami di hari aqiqohannya dulu. Dia menyematkan nama Tirmidzi karena atas saran Buya katanya.
Entah kapan Abuya memberi saran nama itu pada Gus Raza. Tapi kami sangat bahagia dengan kehadiran Ibrohim.
Di tambah lagi Ning Zara yang juga sudah melahirkan seorang putri yang cantik sekitar empat bulan yang lalu. Rupanya dia sedang hamil dua bulan saat dia pingsan di kamar mandi dulu. Tanpa dia sadari sebelumnya.
Yang membuat seisi rumah panik sekali waktu itu. Ternyata Allah sedang memberikan anugerah baru untuk keluarga kami.
Berita bahagia juga datang dari adik iparku, Zahira. Dia ditunangkan oleh Abuya dengan anak dari kerabat jauhnya sekitar dua bulan yang lalu. Saat dia resmi memasuki tingkat Aliyah. Sungguh sangat menggembirakan.
Anak petakilan itu sekarang sudah tumbuh menjadi gadis remaja cantik yang sebentar lagi akan menikah. Tapi, tunggu tunangannya lulus kuliah dulu. Dan Zahira juga harus lulus Aliyah. Agar dia bisa matang dan berpikir lebih dewasa. Karena selama ini anak itu hanya selalu bercanda dan tidak pernah serius dengan masa depannya.
"Assalamu alaikum," ucap Zahira memasuki ndalem. Saat dia baru saja kembali dari Madrasah Aliyahnya.
Aku yang sedang duduk di sofa memangku Ibrohim tersenyum hangat padanya seraya menjawab salamnya.
"Waalaikum salam warohmatullah."
Zahira berjalan gontai kearahku lalu duduk di sofa di sampingku menarik nafas panjang. Terlihat wajahnya sangat lelah hari ini, mungkin dia sedang banyak hafalan.
"Sayang...ponakannya Bibi. Sini deh sama Bibi, sayang."
Zahira mengambil alih Ibrohim dari pangkuanku. Aku menyerahkannya begitu saja. Diapun langsung menghujani Ibrohim dengan ciuman di wajahnya.
"Lucunya ponakan, Bibi." Sambungnya setelah menciumi Ibrohim lalu memangkunya.
"Kenapa toh, Dek. Wajahnya di tekuk seperti itu?" tanyaku saat dia terlihat begitu kelelahan sepulang sekolah siang ini. Padahal Madrasah Aliyah tidaklah jauh. Masih satu wilayah dengan asrama para santri.
"Entahlah...Mbak. Zahira capek, banyak hafalan hari ini yang harus di setor. Di tambah hafalan di Diniyah nanti ba'da dzuhur."
jawbanya sambil memangku Ibrohim dan mengelus lembut puncak kepala putraku.
"Namanya juga masih belajar. Tholabul ilmi itukan ndak ada yang mudah, Dek." Balasku tersenyum hangat pada Zahira.
"Iyo, Mbak. Zahira tau. Tapi, Hafalan minggu ini menumpuk. Membuat Zahira kewalahan untuk meghafalnya satu-satu. Ilmu tafsir, ushul fiqih, mustholahul hadist. Di tambah lagi setoron sorrof tiap hari sama Ustadzah. Hadueh.... membuatku ingin pingsan saja, Mbak."
jawbanya yang aku balas dengan cekikikan. Karena wajah Zahira yang terlihat begitu lucu saat kebingungan dan malas-malasan seperti ini.
"Ishbir. Semua akan manis pada waktunya. Tholab ilmu itukan memang ndak mudah. Segala macam gangguan datang silih berganti. Apalagi rasa malas yang kerap kali mampir di diri dan membuat kita mengantuk saja saat sedang belajar. Hehehe..."
KAMU SEDANG MEMBACA
DOAMU AZIMATKU [Romance Islami]
Художественная прозаseorang gus yang menikah dengan teman masa kecilnya,yang sudah ia anggap seperti adik sendiri disebabkan karna masih terikat hubungan kekeluargaan,🌹 Terbelenggu rindu yang akhirnya berujung temu,dan membawa misteri yang mungkin dapat menyayat hati�...