Angin berhembus lembut meniup juntaian rambut Jisoo yang tergerai, awan kelam pun perlahan memudar bergantikan dengan cahaya rembulan yang benderang. Sejenak Jisoo mengagumi keindahan malam yang dianugerahkan Tuhan untuknya.
Seandainya saja hidup lebih adil padanya mungkin dia tidak akan semenderita ini. Seandainya saja dia tidak termakain oleh bujuk rayu Minho yang memintanya untuk kawin lari pasti orangtuanya tidak akan membencinya.
Seandainya saja Minho memang tulus mencintainya, pasti kehidupan pernikahannya akan indah dan mungkin saja aka nada buah hati yang hadir dalam pernikahan mereka. Seandainya saja, waktu bisa diputar kembali ataupun dia bisa terlahir kembali, dia akan meminta untuk tidak dipertemukan dengan Minho.
Menyesal pun tidak ada gunanya, perjalanan hidupnya sudah sampai pada titik Tuhan menguji kesabarannya.
"Hei Nona, tidak baik melamun seperti itu, lebih baik temani kami sebentar."
Sapaan singkat membuyarkan lamunannya, Jisoo memundurkan tubuhnya ketika dua orang pria sudah berdiri dihadapannya. Tubuhnya gemetar, kakinya membeku seolah tidak mau beranjak dari situ.
Orang-orang bilang, jalanan sepi dan gelap dilingkungannya sering kali ditunggui oleh para preman yang menanti mangsanya. Biasanya ia tidak berangkat kerja melalui jalan ini. Namun, entah kenapa lamunannya tentang kehidupannya yang menyedihkan membawanya hingga sampai ketempat seperti ini.
"Jika kalian menginginkan uang, aku tak memilikinya." Dengan terbata ia berseru berani.
Mereka terbahak dengan langkah mereka yang semakin mendekat pada Jisoo, salah satu dari mereka mengeluarkan sebilah pisau yang disembunyikan dibalik kantong celananya.
"Kami yakin kau punya hal lain untuk menghibur kami kan?" dengan pisaunya, dia menyibakkan rok putih selutut Jisoo hingga hampir memperlihatkan dalamannya.
"Hentikan!" Jisoo berteriak kemudian berjongkok melindungi dirinya, jika memang jalan takdir menginginkan kematiannya secepat ini, dia rela. Mungkin dengan begini dia bisa terbebas dari siksaan Minho yang lebih mengerikan dari preman ini.
"Kalian makhluk rendahan tidak sepantasnya hidup di dunia ini." Suara menggema terdengar keras dijalanan yang sepi ini. Kedua preman itu mencoba mencari asal suara tapi tidak menemukannya.
Jisoo yang sudah gemetar ketakutan malah semakin meringkukkan tubuhnya ketika mendengar saura menggema yang begitu menakutkan. Kedua preman itu tidak lari, mereka malah mengayunkan pisau mereka kesembarang arah menusuk udara kosong disekeliling mereka.
"Menyedihkan, makhluk rendahan seperti kalian harusnya mati ditanganku." Suara itu kian menggelegar, membuat kaki Jisoo melemah dan kedua preman itu kabur pontang-panting ketika sapuan angina kencang menyambar tubuh mereka.
Jisoo terpaku dengan tatapan yang kosong dan pikiran yang melayang jauh, meski bulir air mata masih membasahi pipinya. Apakah dia selamat? Apakah Tuhan masih memberikannya kesempatan untuk menjalani hidupnya yang menyedihkan ini?.
"Mereka sudah pergi, kau bisa merasa aman sekarang." Seorang pria sudah berjongkok dihadapannya dan menyentuh pundaknya lembut. Jisoo kembali, tanpa pikir panjang dia langsung menyambar pria itu lalu memeluknya. Dia menangis sesegukan, meluapkan rasa takutnya, rasa sedihnya, rasa kecewanya dan rasa putus asanya. Semuanya tumpah menjadi satu dalam rangkulan pria yang tak dikenalinya ini namun, membuatnya nyaman.
Pria itu lantas tak menolak perlakuan Jisoo padanya, ia malah mencoba menenangkan wanita rapuh itu dengan menepuk dan mengelus punggungnya lembut. Wanita yang sudah diperhatikannya selama beberapa bulan ini.
Jisoo mulai tenang, pelukannya melonggar hingga perlahan dilepasnya.
"Ah- maaf," Jisoo segera berdiri, merasa tak enak karena perlakuannya
"Kau sudah baikan?." Ikut berdiri lalu mengeluarkan saputangan putih dari saku jasnya dan memberikannya pada Jisoo untuk menghapus sisa jejak air matanya.
"Terima kasih." Menerimanya dengan sopan, Jisoo pun sempat mencuri pandang pada pria ini. Paras yang tampan, kulit yang putih pucat dan tampak bersih, pipinya yang tirus serta tatapannya yang hangat meski begitu tajam. Paras nan elok dengan tubuh yang tinggi serta berjiwa penolong, ternyata Tuhan begitu baik menciptakan makhluk seperti dia.
"Sepertinya kau juga terluka, aku akan mengobatimu. Ikutlah denganku." Pinta pria itu.
Jisoo tampak ragu.
"Taeyong, namaku Lee Taeyong." Taeyong memperkenalkan dirinya.
"Kim Jisoo, terima kasih untuk pertolongannya dan maaf atas perilaku yang tidak sopan tadi." Ujar Jisoo.
"Itu wajar, kau ketakutan dan sepertinya kau mempunyai kehidupan yang berat." Ujar Taeyong, ia menatap lekat kedua iris mata Jisoo yang tampak mati dan tidak bergairah. Seakan Jisoo sudah menyerah untuk menjalani hidupnya.
Jisoo bergeming tidak menjawab pertanyaan Taeyong.
Taeyong berdehem mencairkan suasana.
"Luka lebammu, aku akan menyembuhkannya." Taeyong menawarkan kebaikannya.
"Tidak perlu, luka ini bukan dari para preman itu." Jawab Jisoo lalu buru-buru menutupi pipinya dengan telapak tangannya.
"Oh-..." Taeyong mengangguk namun pikirannya berkecamuk dengan amarahnya yang bergejolak ingin meluap.
"Ah- aku harus bekerja! Terima kasih atas bantuannya, selamat tinggal." Jisoo bergegas meninggalkan Taeyong yang berdiri menatapnya hingga bayangannya menghilang disudut jalanan.
"Harusnya kau berkata sampai ketemu lagi." Gumam Taeyong lalu menghirup aroma parfum Jisoo yang masih melekat pada tangan dan jas hitamnya. Aroma yang harum dan begitu memabukkan, harusnya ia tidak membiarkan Jisoo pergi begitu saja.
**
Plak
"Wanita sialan! Kau bekerja semalaman dan pulang dengan tangan kosong?" tamparan keras mendarat lagi pada pipinya yang sudah tidak mulus lagi. Minho mengamuk saat dia pulang tanpa membawa uang seperserpun. Keterlambatannya datang ketempat kerja membuatnya tidak mendapat upah harian.
Jisoo diam tidak melawan.
"Harusnya kau menjual tubuhmu itu! Untuk apa kau dianugerahi tubuh ramping dan wajah yang cantik kalau bukan untuk mencari uang, Hah!" amarah Minho semakin membara, kali ini dia menendang perut Jisoo tanpa ampun.
Jisoo meringkuk menahan sakit memohon pengampunan. Minho mendekat, menarik kasar lengan kurus Jisoo lalu dia menarik pipi Jisoo untuk menatapnya.
"Harusnya kau berterima kasih karena sudah kuberikan tempat tinggal, dasar gak guna!" satu tamparan lagi mendarat mulus pada pipi Jisoo, lebih kuat dari sebelumnya. Bahkan disudut bibirnya sudah terlihat darah segar yang menetes.
Jisoo tidak menangis, ini memang salahnya dan dia pantas menerima hukuman seperti ini. Semua perkataan Minho benar adanya, masih beruntung dia diberi tempat untuk tinggal meskipun kehidupannya tidak sebahagia pasangan lainnya.
"Dosa apa aku di masa lalu hingga memiliki istri tidak berguna sepertimu ini, cih!" Maki Minho lalu meninggalkan Jisoo yang tak berdaya.
Sepasang mata penuh amarah menatap Minho dengan bengis lalu berganti dengan tatapan iba akan kekerasan yang dialami oleh Jisoo.
KAMU SEDANG MEMBACA
Black Rose | Taeyong ft Jisoo ✔
Fanfiction[ Warned! Mature content, Harap para pembaca bijak menyikapinya ] "Mawar Hitam dia akan menjadi pengganti diriku untuk menemanimu." "Taeyong apa maksudmu?." "Tinggalkan dia, maka aku akan memberikanmu kebahagiaan." ucapnya lembut dan mencium punggu...