Sinar mentari belum menunjukkan tanda kemunculannya, namun Jisoo sudah terjaga sejak setengah jam yang lalu. Rasa sakit pada bagian tubuhnya belum hilang, bahkan rahangnya terasa sakit membuatnya sulit untuk menggerakkan mulutnya.
"Kapan penderitaan ini akan berakhir." Lirihnya sembari melihat selembar foto pernikahannya dengan Minho yang hampir robek. Pria itu ingin membuang foto pernikahan mereka, tapi Jisoo berusaha keras untuk melindungi kenangannya.
Bodoh memang, tapi hanya Minho keluarga yang dimilikinya saat ini. Tak ingin membuang waktunya, Jisoo bergegas menuju dapur untuk menyiapkan sarapan. Sudah kewajibannya sebagai seorang istri untuk melayani suaminya.
Hari semakin terang, Jisoo sudah membereskan rumahnya, mencuci pakaian dan tentu saja Minho sedang menyantap makanannya dengan lahap. Lega rasanya melihat Minho yang masih mau memakan masakannya.
Tak ingin membuang waktu menikmati momen Minho yang sedang sarapan, Jisoo pun segera meraih tas selempangnya yang mulai usang untuk segera berangkat kerja.
"Minho, aku pergi dulu."
Tidak ,menjawab Jisoo Minhoo hanya mengibaskan tangannya seolah mengusir Jisoo untuk segera pergi dari rumah. Jisoo tersenyum, semoga baktinya pada suami bisa terbalas disaat dia memasuki surga.
"Wanita itu begitu bodoh, masih saja mau serumah dengan Minho."
"Kenapa dia tidak minta bercerai saja?"
"Kudengar dia yatim piatu dan tidak punya tempat untuk pulang, mungkin itu alasannya bertahan."
"Kasihan dia harus menikahi pria pemalas dan pemabuk seperti Minho."
"Kalau aku jadi dia mungkin sudah gila! Setiap malam aku mendengar jeritan kesakitannya."
Kembali dia mendengar bisikan para tetangga yang menggunjingi kehidupan rumah tangganya. Dia menulikan telinganya, membutakan matanya dan menebarkan senyumannya kepada setiap ibu yang dia temui dijalan meskipun mereka menggunjinginya dari belakang.
Sakit.
Ingin menangis rasanya.
Tapi dia harus kuat menjalani hidupnya.
*
"Master," pria paruh baya itu berjalan memasuki ruangan Taeyong yang gelap, hanya ada satu cahaya lilin yang cukup untuk menerangi sosok rupawannya. Tuan Shin meletakkan segelas minuman cairan merah yang biasa dikonsumsi oleh tuannya. Dia menuangkannya dengan begittu elegan sementara Taeyong masih dengan dunianya sendiri, menerawang jauh entah kemana.
"Master, minuman anda sudah siap."
Panggilan tuan Shin membuyarkan lamunannya, dengan langkah berat dia duduk pada sofanya lalu meraih gelas minumannya. Dia berpikir sejenak sebelum meminumnya, Tuan Shin melirik masternya sebelum dia melontarkan pertanyaan.
"Apakah ada yang menganggumu, Master?." Bertanya dengan hati-hati.
Taeyong menggeleng lalu meneguk minumannya, ada jejak minuman yang tertinggal disudut bibirnya. Tuan Shin menawarkan tisu namun Taeyong menolaknya, dia memilih menggunakan ibu jarinya untuk membersihkan jejak minumannya.
Tuan Shin kembali menuangkan minuman kedalam gelas Taeyong, pria itu tampak berbeda, seolah banyak hal telah menumpuk didalam pikirannya. Ingin sekali rasanya menanyakan apa yang sedang dipikirkan oleh masternya ini namun, dia berpikir dua kali demi kesopannya kepada master-nya.
"Aku menemuinya."
Tuan Shin sedikit terlonjak mendengar perkataan master-nya "Master menemui manusia itu?."
"Aku bertemu secara tidak sengaja, dia sedang diganggu oleh para preman."
"Apa Master ikut andil dalam dunia mereka?."
Taeyong mengangguk, Tuan Shin menghela napasnya berat.
"Apa Master juga melihat luka pada tubuh wanita itu?." Tanya Shin berhati-hati.
Taeyong merespon dengan mengerutkan dahinya, seolah Tuan Shin sedang memata-matai kegiatannya.
"Maaf atas kelancangan saya Master, semenjak hari dimana Master melamun didepan jendela, saya mulai menyelidiki wanita itu." Tuan Shin membungkukkan tubuhnya penuh penyesalan, Taeyong yang semula marah dan ingin membakar Tuan Shin perlahan meluruhkan emosinya.
"Karena kau sudah menyelidiknya, berarti aku bisa membawanya bersamaku, kan?."
"Master, saya mohon jangan lakukan itu, bagi dunia kita para vampire, manusia hanyalah ternak untuk disantap." Tuan Shin kembali memperingatkan Taeyong akan tindakannya.
Taeyong merenung, dia mengambil setangkai mawar hitam yang tergeletak jatuh dibawah kakinya. Perkataan Tuan Shin tidak salah, ini hanya ambisinya dan obsesinya pada sosok wanita bernama Jisoo itu.
Awalnya dia hanya kasihan kepada Jisoo, lalu dia merasa iba saat melihat luka lebam yang ada pada tubuh Jisoo. Walaupun dunia mereka berbeda, namun para manusia lebih kejam dibandingkan dengan kaum Taeyong.
"Master?." Tuan Shin kembali membuyarkan lamunan Taeyong.
"Kau benar, aku akan lebih berhati-hati saat bertemu dengannya lagi."
"Apa Master ingin menemuinya kembali?."
Taeyong tersenyum lembut , netranya menatap mawar hitam yang berada pada genggamannya. Kemudian dia mengambil gelas minumannya lalu menyiramkannya pada mawar itu hingga berubah menjadi warna merah.
"Kalau hanya bertemu, tidak masalah bukan?." Tersungging senyuman penuh makna dari bibir Taeyong. Pria itu sudah menghilang meninggalkan sekelebat angina yang meniup tiap kelopak mawar hitam yang ada diruangan itu.
*
Jisoo berjalan dengan lunglai, tubuhnya terasa sangat lelah sampai-sampai dia ingin merebahkan tubuhnya pada aspal jalanan. Bekerja dari pukul 8 pagi hingga 5 sore, belum lagi dia melukan kerja part-timenya pukul 9 malam nanti. Kesehariannya hanya dilakukan dengan bekerja dan terus bekerja, bahkan pada hari libur Jisoo masih melakukan pekerjaan tambahan.
Demi apa?
Tentu saja demi melunasi hutang-hutang yang dimiliki Minho, hutang itu semakin bertambah bunganya setiap bulan. Jisoo memasuki rumah dengan perlahan, berharap Minho sedang tidak ada dirumah. Hari ini dia menerima gajinya, dia ingin menyisipkan sedikit uangnya untuk ditabung.
Namun, harapannya pupus sudah saat melihat Minho sudah berdiri menghadang didepan pintu kamarnya. Tatapan penuh amarah dan wajah bengisnya, serta ikat pinggang yang sudah berada ditangannya.
Jisoo gemetar, dia takut akan siksaan yang akan dihadiahkan Minho padanya. Tanpa berkata apapun, Jisoo segera mengeluarkan amplop putih berisi gajinya bulan ini. Dengan perasaan takut dia menyerahkannya, Minho menerima dengan senyuman sumringahnya.
Jisoo bisa bernapas lega, dia lolos dari siksaan Minho untuk saat ini, beruntung dia sudah menyisihkan uangnya untuk perjalanan pulang-perginya ke tempat kerja. Jisoo segera masuk kedalam kamarnya, mengganti pakaiannya sebelum dia terlelap dalam tidurnya.
☆☆☆☆☆
KAMU SEDANG MEMBACA
Black Rose | Taeyong ft Jisoo ✔
Fanfiction[ Warned! Mature content, Harap para pembaca bijak menyikapinya ] "Mawar Hitam dia akan menjadi pengganti diriku untuk menemanimu." "Taeyong apa maksudmu?." "Tinggalkan dia, maka aku akan memberikanmu kebahagiaan." ucapnya lembut dan mencium punggu...