7

1.8K 169 20
                                    


'PTSD, Mama mengidap PTSD. Itu semua berawal setelah Edward, kakak gue meninggal karena gagal jantung.'

Selama dia cerita tangannya gak berhenti gerak. Dia kaya orang yang tertekan banget. Pandangannya kabur, apalagi pas dia cerita soal Mamanya, dia hampir nangis.

Antara merasa iba dan masih gak percaya. Di balik sikap Edrick selama ini, nyatanya dia punya cerita yang mungkin lebih berat dari gue. Ibu yang sakit, Ayah yang menelantarkan anak dan istrinya lebih memilih untuk berlibur, mencari kebahagian di luaran sana. Keluarga yang dari luar tampak harmonis dan bahagia karena kaya raya kenyataannya hanya sebuah pencitraan.

Siapa yang akan menyangka kalau keluarga konglomerat Tama Group adalah keluarga yang berantakan, bahkan mungkin keluarga gue jauh lebih baik dari mereka.

"Kamu lagi mikirin apa?"

Setelah pulang dari gereja tadi, Irgi jemput gue di rumah. Gue kira dia mau ajak pergi ke mana, ternyata ke rumahnya dia.

"Gak, cuma lagi mikirin kerjaan di kantor."

Tangan Irgi ngelusin punggung tangan gue pelan, dia kasih tatapan yang sama sekali gak bisa gue tebak. Dia tau gimana caranya buat nenangin perasaan orang, walaupun gue gak yakin cuma gue yang dia giniin atau Kevan juga.

Irgi selalu kasih kenyamanan, setiap kali di deket dia rasanya semua beban dan masalah yang ada itu ilang seketika.

"Ada masalah lagi?"

"Sedikit, gak terlalu serius juga." Gue mencoba untuk tersenyum manis di depan dia. Dia selalu bilang kalau gue mesti banyak tersenyum, ya, walaupun sebenarnya agak susah. "Kok sepi, Mama kamu di mana?"

"Urusin Kafe yang baru buka, tadinya aku mau ikut."

"Kok gak jadi?"

"Mama bilang mendingan aku ajak kamu pergi."

Apakah itu sebuah kode dari Mamanya Irgi?

Jadi ini yang namanya bahagia, ketika cinta kita bersambut dan semesta di sekeliling kita seolah mendukung untuk bersama?

"Terus kenapa gak pergi, malah di sini, di rumah elo."

Kelabilan gue mulai terbaca, dari panggilan yang terus berubah. Antara labil dan gerogi bersatu padu dalam otak dan hati.

"Besok malam, Mama mau ajak kamu makan malam."

Seketika otak gue melayang inget kejadian kemarin siang, waktu di rumah Edrick. Waktu Mamanya Edrick ngajakin makan bareng.

"Kamu bisa, kan?"

"Eu-eung?"

Kenapa gue jadi gak fokus gini, sialan, gak seharusnya gue mikirin Edrick sekarang ini.

Irgi gerakin tubuhnya lebih dekat ke arah gue, dia ambil bantal yang gue jadiin mainan dari tadi. Tatapan dia gak kaya biasanya, sayu.

"Kenapa?"

"Aku kangen kamu," lirih banget suaranya Irgi.

Tangan dia pelan-pelun ngelus kepala gue. Muncullah sisi manja yang sama sekali gak pernah gue sangka bakal ada dalam diri gue.

"Hem?" Gue berharap dia ngulangin ucapannya  barusan, kata-kata yang gak pernah gue denger dari dia. Dari dulu gue selalu ngerasa kalo yang kangen cuma gue sendiri.

"Aku kangen kamu,"  dia beneran ngulang kata-kata itu.

Yang gue tau setelah dia ucapin kata-kata itu, dia makin intens buat natap gue. Pelan tapi pasti, dia tempelin bibirnya di bibir gue.

Who Feels Love?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang