Seperti ada kupu-kupu yang terbang di dalam perut. Katanya begitu kalo lagi jatuh cinta. Entah kupu-kupu, entah makanan yang barusan gue nikmatin sama Irgi, yang bikin perasaan gue bahagia.Sepanjang perjalanan pulang dari tempat makan tadi, gue gak berhenti senyum di dalam hati. Kenapa di dalam hati? Karena gue gak bisa senyum di depan Irgi.
"Jadi, besok kamu ke Surabaya?"
"Eung?"
Irgi lihatin gue sebentar terus balik lagi fokus ke jalanan, terus dia senyum lembut banget.
"Kamu lagi mikirin apa?"
Apa gue gak fokus dari tadi sampai-sampai Irgi ngetawain gue kaya gitu.
"Gue gak mikirin apa-apa, elo tadi tanya apa?"
Lagi-lagi senyum itu tercetak di wajah Irgi, apa yang bikin dia terus-terusan senyum. Harusnya sekarang ini Irgi jelasin ke gue, kenapa kemarin dia gak nyoba buat jelasin soal Kevan ke gue.
"Aku tahu tiga hari ini kamu marah sama aku."
Pernah gak kalian rasain sesuatu kaya nabrak hati kalian? Ini yang lagi gue rasain sekarang. Dia kaya cenayang. Tau apa yqng lagi gue pikirin. Apa gue ini tipe orang yang semuanya mudah dibaca walaupun cuma lewat ekspresi muka?
"Aku mau jelasin ke kamu, tapi kamu menghindar terus. Jangankan buat jelasin, kamu aja gak angkat telfon aku."
Dia bikin gue ngerasa bersalah padahal posisinya sekarang dia yang harusnya dihakimi. Setiap kata yang keluar dari mulut dia selalu bikin gue diem, bukan karena gue takut, tapi karena emang apa yang dia omongin bener semua.
"Gue gak marah, Gi."
Dan gue pun gak tahu alasannya kenapa gue harus marah sama Irgi. Gue emang cemburu, tapi gue gak punya hak buat marah. Sekarang di antara kami berdua ini gak ada hubungan spesial dan kadang kenyataan ini yang ngebuat gue semakin marah sama keadaan.
"Gue gak minta elo buat selalu kasih tahu gue apa kegiatan elo, siapa yang elo temuin atau kemana elo pergi. Tapi, kadang gue ngerasa keganggu sendiri sama hal-hal negatif yang dateng gitu aja di pikiran gue ini."
Rasanya kaya ngeluarin batu sebesar gunung, gue keluarin semua kegundahan gue tiga hari ini. Bener-bener kesiksa sama pikiran sendiri. Satu pikiran negatif belum terjawab, muncul lagi pikiran negatif yang lain dan apa yang kita terima dari itu semua? Perasaan yang menyesakkan dan menimbulkan kemarahan. Perasaan labil yang berakibat pada penyesalan.
"Aku seneng kamu khawatir, makasih Sa."
Bukan jawaban ini yang gue mau, Gi. Kenapa elo gak pernah peka sama perasaan gue. Kenapa seolah-olah indera perasa elo mati. Apa yang kurang gue tunjukkin ke elo? Gue cuma butuh kepastian dari elo. Gue cuma bisa ngomong kaya gini di dalam hati.
* * *
Jam weker di meja sudah berbunyi dari tadi, waktu menunjukkan pukul lima pagi. Melly benar-benar sekertaris yang rajin dan sangat bisa diandalkan, saking rajinnya dia mengambilkan tiket penerbangan pukul setengah delapan pagi. Karena jarak dari rumah ke bandar udara cukup jauh, gue mesti bangun pagi-pagi supaya gak ketinggalan pesawat.
"Mama cuma bawain baju kamu buat dua hari."
Sambil dengerin Mama yang lagi ngomong gue menikmati setangkep roti isi ham dan selai stroberi.
"Kamu gak akan lama kan di sana?"
Gue bersyukur Papa udah gak pake kursi roda lagi, pelan-pelan dia mulai belajar jalan lagi kaya biasanya walaupun cuma selangkah atau dua langkah, tapi itu udah kemajuan yang luar biasa.
![](https://img.wattpad.com/cover/178242541-288-k773970.jpg)