19

1.6K 142 25
                                    


Sepanjang perjalanan pulang gue hanya diam, fokus melajukan mobil. Jujur gue gak suka sama sikapnya Edrick yang egois. Dia bilang kalau kami, gue dan Edrick akan menikah dan setelah itu akan mengadopsi Aron dan akan tinggal bersama kami.

"Sa ..."

Begitu sampai di rumah Edrick, gue minta dia buat segera turun.

"Gue capek, gue mau istirahat jadi lo bisa 'kan turun sekarang?"

Dia gak langsung turun, dia tarik tangan gue dan genggam seerat mungkin.
"Aku gak akan paksa kamu, kamu punya hak buat nolak Aron, tapi tolong pikirkan hubungan kita. Aku sayang kamu." Selesai bicara dia kecup kening gue dan turun dari mobil.

* * *

Kata orang cinta itu indah, membahagiakan, di bagian mananya? Yang gue rasakan sekarang dibandingkan dulu dengan Irgi gak ada bedanya sama sekali. Sama-sama menyakitkan. Semuanya mengecewakan, sebenarnya siapa yang susah dimengerti, gue atau memang mereka berdua yang otaknya gak waras.

"Gue gak terima," gue mendengus kesal di hadapan Alby.

"Terus?"

"Gue bingung, gue belum mau ketemu sama dia."

"Mau menghindar terus gitu?"

Gue tatap Alby dengan penuh kesinisan, niat gue datang ke rumah Alby untuk mendapatkan solusi bukan malah di provokasi dan tambah emosi.

"Emang berapa umur Aron?" Lanjut Alby.

"Seumuran Kavin. Mungkin." Gue gak yakin.

Alby masih melanjutkan membuat makanan untuk Rachel, ia memotong wortel, brokoli dan ikan yang sudah ia kukus kemudian memasukkannya ke dalam mesin penghalus makanan bayi.

"Gue tanya sama lo, sekarang apa sih yang lo cari dalam sebuah hubungan?" Begitu suara mesin itu berhenti,  Alby kembali bertanya.

"Ya, kebahagiaan."

Alby tersenyum mendengar jawaban gue, dia meletakkan makanan Rachel yang sudah ia pindahkan ke dalam mangkuk kecil berwarna merah muda itu di atas meja, dengan cekatan dia memindahkan Rachel yang semula duduk di atas kursi bayi yang bergetar itu, gue gak tau namanya apa ke kursi khusus milik Rachel untuk makan. Gue diam memperhatikan dia yang benar-benar dengan telaten mengurusi Rachel.

Siapa yang tau kalau Alby akan berakhir seperti ini, padahal dulu saat SMA, Alby gak jauh berbeda dengan gue. Pemarah, manja dan yang jelas judes.

"Mengasuh anak, mendidik anak, itu bagian dari hidup yang kadang gak bisa dirasain sama sebagian orang, salah satunya mas Aldy. Harusnya lo bersyukur Sa, walaupun Aron bukan anak kandung kalian berdua."

Kalau berifikir sejauh itu mungkin ada benarnya juga. Tapi gue tetap kecewa dengan sikapnya Edrick yang seenaknya saja dalam bertindak.

* * *

Semua omongan Alby tentang mengasuh anak adalah kebahagiaan tersendiri dan kadang gak bisa dinikmati oleh semua orang,  terus terngiang di otak gue. Apa mungkin seharusnya gue terima Aron di antara gue dan Edrick.

"Loh, kamu gak ke kantor ?"

Mama yang sedang menikmati acara televisi di ruang tengah segera menoleh ketika melihat gue di tengah hari seperti ini pulang ke rumah.

"Esa ada urusan,"

"Soal peresmian hubungan kamu sama Edrick?"

Harusnya gue urus itu semua sekarang ini, rencana untuk meresmikan hubungan gue sama Edrick.

"Tadi Edrick ke sini, dia bilang kamu gak ke kantor, hp kamu gak bisa buat dihubungin juga. Dia sepertinya khawatir sama kamu."

Seharian ini gue sengaja menonaktifkan ponsel, bukan hanya soal kerjaan, tapi juga soal Edrick, gue gak mau berurusan dulu dengan itu semua. Gue butuh pikiran yang jernih untuk memutuskan itu semua.

Who Feels Love?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang