5

2K 158 26
                                    


"Apa sih, Drick, lepasin."

Baru kali ini gue lihat Edrick seserius ini, tatapannya bener-bener mengintimidasi.

"Udah malem, mandi buru."

Edrick ngelepasin pegangannya dan lanjutin makan lagi. Gue gak paham, apa yang sebenernya dia lakuin tadi.

* * *

"Elo bisa tidur di ranjang, gue yang di kursi." Edrick lagi fokus mainin ponselnya di sofa.

Gue nyaut satu bantal dan bawa selimut tambahan yang dikasih sama hotel ke sofa yang ada di dekat jendela.

"Gak usah, elo aja yang tidur di ranjang." Dia masih lihatin ponselnya dan sama sekali gak ngelihatin gue, orang yang dia ajak ngomong.

"B-badan elo butuh tempat yang nyaman buat istirahat."

"Elo khawatir sama gue?" Kali ini dia rubah posisinya dan duduk lihatin gue yang lagi lihat ke arah dia.

"Y-ya, iya, elo pegawai gue, lagian kalo elo lama sakitnya gue juga bakal lebih lama di sini. Gue gak mau ngerawat elo."

"Dan elo bakal lama buat ketemu sama Dokter itu."

Sejak kapan dia tahu soal Irgi, jangan-jangan Eka ceritain semuanya ke dia. "Gak usah ikut campur urusan orang."

"Gue boleh tanya sama elo?" Dia kayaknya gak peduli sama larangan gue dan malah memperpanjang.

Dia jalan ke gue, terus duduk di lantai, sekarang posisi kita saling berhadapan. "Elo suka, kan sama dia, siapa namanya, Irgi, bener, kan?"

"Bukan urusan elo, Drick."

"Dia tau kalo elo suka sama dia? Atau jangan-jangan kalian sama-sama gak berani buat ngungkapin perasaan kalian?"

Gak, gue gak akan jawab. Gue gak bakal kepancing sama dia. Dia manusia yang suka urusin urusan orang lain.
Alih-alih jawabin ucapan Edrick, gue balik lagi ke ranjang dan langsung rebahin badan gue. Jangan sampai kejadian di kafe kemarin terulang, emosi gue kepancing dan malah memperburuk keadaan.

"Kenapa elo gak jawab?"

Lampu langsung gue matiin dan nutup badan pake selimut. Dia gak perlu tau soal urusan pribadi gue, dia bukan teman atau apapun di hidup gue. Dia cuma orang yang kebetulan gue kenal dan kerja di perusahaan.

* * *

Sampai di Jakarta gue langsung pisah sama Edrick, gue langsung ke palkiran dan untungnya Pak Maman udah ada di sana. Sengaja gue ngehindar dari Edrick, gue masih kesel soal kejadian semalam.

Ngomong-ngomong soal Irgi, dari semalem dia belum kasih gue kabar. Bahkan pesan dari gue terakhir kali belum dia baca. Mungkin dia sibuk atau mungkin dia, gue coba buat gak berpikiran buruk.

* * *

Untung hari ini jalanan gak begitu macet. "Bapak mau di antar ke kantor atau langsung ke rumah?"

"Pulang, Pak. Nanti Pak Maman langsung pulang aja, gak usah ke kantor lagi." Pak Maman itu sopir keluarga gue dari dulu. Dia yang kadang gantiin gue buat antar Eza terapi kalo gue lagi sibuk atau ke luar kota kaya gini.

Langit di luar cerah banget, lama banget kayaknya gue gak lihat pemandangan kayak gini. Kerjaan di kantor banyak banget, saking sibuknya gue sampe gak bisa nikmatin hidup gue sendiri.

Jendela mobil gue turunin, rasain udara Jakarta.
Tiba-tiba ucapan Edrick semalam terngiang, 'atau kalian takut buat ungkapin perasaan kalian?'

Sial, kenapa juga gue mesti denger ucapannya dia.

'Atau elo takut semuanya bakal berubah setelah dia tau perasaan elo ke dia?'

Who Feels Love?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang