16

1.6K 154 47
                                    

Kehidupan gue sekarang ini berjalan lancar. Hubungan gue sama Edrick, kerjaan gue di kantor, kesehatannya papa dan keadaannya Eza yang juga terus membaik. Semuanya seolah mendukung,

Eza bahkan sudah mau untuk kembali lagi bekerja di kantor.
Gue bahagia, akhirnya Eza punya semangat untuk berusaha lagi, hidup sebagaimana mestinya dan juga memikirkan keluarganya. Setelah Eza kembali ke kantor nanti mungkin gue yang akan mundur, akhir-akhir ini banyak sekali hal yang tiba-tiba menjadi alasan kuat supaya gue berhenti kerja. Salah satunya adalah Edrick.

"Kamu yakin?"

Setelah gue berpikir beberapa hari buat ambil keputusan ini, orang pertama yang gue kasih tau soal ini adalah Edrick. Alasannya adalah karena gue merasa kalau dia adalah bagian dalam hidup gue sekarang ini. Gue harus percaya dan mungkin akan mengandalkan dia apalagi kalau nanti gue memutuskan untuk tinggal bersama dia. Terbuka dan mau menerima saran, anggap saja sisa umur gue nanti setiap harinya akan gue habiskan bersama Edrick.

"Apapun keputusan yang kamu ambil, aku selalu jadi pendukung nomor satu kamu." Dia menaik-turunkan alisnya sembari tersenyum aneh. Konyol, tapi kadang hal begitu yang bisa buat gue senyum dan merasakan sesuatu yang baru.

"Apa? Kenapa tangan lo garuk-garuk tangan gue?" Sekarang gue gak fokus sama sekali, gue mau senyum, tapi nanti dia makin menjadi, apalagi kalo gue marah.

"Kenapa, kamu suka, kan?"

"Apa ... suka apa?"

"Suka sama aku ..." Edrick senyum lebar banget. Sampai rasanya silau banget lihat giginya dia.

Tapi, gue suka.

"Apaan sih, siapa yang suka sama lo."

"Kenapa, kamu malu, ya?"

Tahan, tahan, gue harus tahan, gue gak boleh senyum ataupun ketawa sama apa yang Edrick bilang barusan, tapi gak bisa dan akhirnya gue kalah, gue tersenyum.

Dia sengaja mepet gue ke pinggiran sofa, tangannya dia pegangin tangan gue dua-duanya. Sekarang kaki dia malah naik ke sofa, posisinya adalah gue tepat di bawah dia dan dia di atas gue cuma senyum-senyum sambil deketin mukanya ke arah gue.

"Ck ... Drick, lu mau ngapain?" Mulut gue berontak, tapi tubuh gue seolah mengikuti gerakannya Edrick yang perlahan mau cium gue.

Tok ... tok ... tok ...

"Ah ... sialan, siapa sih yang nyuruh dia ke sini." Edrick kelihatan kesel banget.

Baru kali ini gue benci dengar suara pintu diketuk, seketika Edrick langsung loncat dan duduk di sebelah gue. Merusak momen sekali.

"Masuk," gue teriak dan gak lama Melly muncul dari balik pintu.

"Pak, ada tamu buat bapak." Melly berdiri di depan pintu, biasanya kalau ada tamu Melly akan langsung mengantarnya ke sini.

"Siapa? Suruh masuk aja."

Melly menatap ke arah Edrick yang sedang berpura-pura membaca dokumen.

"Oh, ya sudah, saya selesaikan urusan saya dengan bapak Edrick terlebih dahulu." Gue langsung paham waktu lihat ekspresinya Melly.

"Maaf, bukan, Pak. Tamunya nunggu di loby, beliau ingin bertemu bapak di bawah."

* * *

Biasanya kalo tamu kantor atau klien yang datang pasti langsung dibawa ke ruangan, siapa kira-kira, kenapa dia gak mau masuk dan malah nunggu di loby.

Langkah gue terhenti, begitu keluar dari lift tatapan gue langsung tertuju pada seseorang yang sedang berdiri menghadap ke arah luar gedung kantor.

Irgi, gue baru sadar kalau gue sama sekali sudah lupa soal Irgi. Gue lupa kalau dia masih ada di negara ini.

Perasaan gue tiba-tiba lega, lihat dia yang masih mau buat ketemu sama gue. Lega, bukan Lega seperti yang pernah dulu gue rasain ketika kami berdua tidak bertemu dalam jangka waktu yang lama. Ya, bukan lega karena rasa rindu itu terobati.

"G-Gi ..."

Irgi menoleh, sama sekali gak ada yang berubah, hanya saja dia terlihat lebih kurus.

Terimakasih karena setidaknya dia jaga diri baik-baik, gue masih bisa menatap senyumnya waktu gue panggil barusan. Senyum yang dulu selalu buat gue merasa tenang dan selalu buat gue berusaha buat balik lagi ke dia meskipun sakit rasanya.

"Sa ... apa kabar?"

Kami berdua saling menatap, dia dengan senyum yang sedikitpun tidak berubah dan gue dengan segala kegundahan yang gue harap hari ini bisa gue luapkan semuanya di depan Irgi. Kali terakhir kami bertemu berakhir dengan pertengkaran, kemarahan dan kekecewaan.

* * *

Dua gelas caramel latte masih mengepulkan asapnya. Gue duduk berhadapan dengan Irgi, masih saling menatap.

"Ada apa, Gi?"

"Besok aku berangkat ke Auckland."

Cangkir kopi itu dia angkat, kemudian dengan pelan bibirnya menyeruput latte itu.

"Hm ... gue harap study lo sukses."

Bertahun gue kenal sama Irgi, semuanya seolah tak terhitung, tak dianggap hanya karena perasaan cinta, kami berdua seperti kembali menjadi orang yang baru saja saling mengenal. Bahkan rasa canggung itu melebihi rasa canggung ketika pertama kali kami bertemu.

"Haruskah kita berdua kembali ke hari kemarin, Sa? Ketika aku sadar kalau aku bisa lebih dulu buat milikin kamu?"

Gak, gue gak akan goyah. "Kita bukan hidup di dunia maya, yang jika ada hal yang kita sesali, kita bisa me-rewindnya."

"Kadang aku mikirin semuanya, coba buat hubungin kamu, tapi seketika aku sadar kalau semuanya udah berakhir, sekalipun aku coba buat perbaiki semuanya."

Kenapa gue merasa kalau dia masih egois, mungkin dia menyesal, tapi penyesalannya hanya untuk dirinya sendiri bukan karena gue. Kalau Edrick gak pernah ada di hidup gue, apa Irgi masih bisa berbicara seperti itu? Belum tentu.

"Banyak hal yang gue alamin, yang gue rasain, tapi apa lo tau itu, Gi?" Gue mencoba mengatur emosi sekarang ini, berharap gue menyelesaikan ini semua dengan kepala dingin, gak berlarut-larut, kalo memang ini adalah akhir dari semuanya maka biarkan gue dan Irgi setidaknya tetap menjadi teman yang baik. "Kalo lo jadi gue, lo gak akan nunggu gue pergi hanya untuk tau sesakit apa penyesalan itu. Kalo lo jadi gue, mungkin lo akan tau sekuat apa gue mencoba supaya gue bisa tetap tersenyum dan berharap kalo lo peduli sama gue."
Irgi terdiam, dia sama sekali tidak membantah.

"Lo bukan gak tau, kalo apa yang kita berdua jalanin selama ini gak mudah."

"Iya dan aku baru sadar betapa berharganya itu semua. Semua hal yang kamu lakuin, perasaan kamu, aku tau dan bodohnya aku lebih memilih buat diam."

Iya, Irgi lebih memilih untuk diam bukan karena dia menghargai perasaan gue, tapi karena kebimbangannya.

"Bego," seketika mulut gue meluncurkan kata itu setelah mendengar penjelasan dari Irgi. "Lo pura-pura gak tau dan memilih diam. Lo tau gue suka sama lo." Gue senyum, senyum seolah menertawakan keadaan dan kebodohan gue selama ini. Kebodohan kalau apa yang gue lakukan selama ini adalah sia-sia, membuang waktu.

"Sa ... aku harap kamu bahagia."

Irgi bukan pembohong dan mungkin apa yang gue dengar barusan pun bukan omong kosong belaka yang diucapkan oleh seseorang yang 'kalah' dalam sebuah hubungan percintaan.

"Kamu juga, Gi."

"Sampai nanti, hubungan kita gak akan pernah berubah kan, Sa? Tetap sebagai teman?"

Gue mengangguk dengan percaya diri, ya, kami berdua akan tetap sebagai teman. Sama seperti dulu ketika pertama kali kami bertemu.

Dy, apa ini karma karena dulu gue pernah celakain lo?

Apapun itu, gue bersyukur karena pada akhirnya gue ataupun Irgi tau apa yang benar-benar kami inginkan tanpa harus saling menyakiti satu sama lain lagi.

Dan gue harus kembali ke kantor, gue punya Edrick, orang yang gue cinta.

Tbc ...

Who Feels Love?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang