"Belom selesai?"
Edrick masuk ruangan dengan menenteng tas kerjanya, kemeja kerja yang dia gulung sampai hampir setengah lengannya, serta kartu identitas karyawan yang masih menggantung di lehernya seolah menambah kesan seksi pegawai kantoran. Ini sudah pukul tujuh malam, jam pulang kantor sudah lewat sejak satu setengah jam yang lalu. Tapi masih ada beberapa karyawan yang duduk di depan komputer mereka dan mengerjakan beberapa tugas.
"Tinggal dikit lagi, agak susah kerja cuma pake satu tangan."
"Gak bisa diselesein besok?"
Dia meletakkan tas kerjanya di atas sofa, kemudian menarik kursi dan duduk di samping gue.
"Bisa, tapi nanggung dikit lagi." Dengan otomatis gue menggeser kursi supaya dia juga bisa lihat layar komputernya. "Oh, iya, gue mau usul soal pegawai kontrak."
"Pegawai kontrak?"
"Iya, kita kan ambil proyek pengembangan pasar tradisional yang deket sama apartemen di daerah barat itu, gue rasa kita butuh negosiator dan beberapa freelance."
"Soal itu aku rasa kamu harus diskusi sama Eka deh, biar dia ngobrol sama divisi pemasaran."
Sekarang Edrick malah sibuk sendiri, tangan kanannya gesit menaik-turunkan layar komputer dengan kursor yang dia pegang. Matanya dengan tajam menatap rangkaian tabel dengan angka yang kemudian diikuti oleh bentuk bulatan-bulatan yang melambangkan sebuah nominal.
"Ini udah bener semua kok, apa lagi yang kamu cari?"
Memang sudah benar, tapi gue masih perlu kroscek lagi. Masalah keuangan kantor jangan sampai ada yang terlewatkan satu sen pun.
"Gak perlu sedetail ini, nanti kan bagian keuangan bakal koreksi lagi. Ini udah cukup kok." Dia lihatin jam tangannya, "aku anter kamu pulang, kamu pasti gak bisa bawa mobil sendiri. Mobil kamu biar ditinggal di sini."
Setelah kejadian tadi siang, gue rasa ada baiknya kalau mulai sekarang gue menunjukkan bagaimana seharusnya bersikap pada Edrick. Mungkin sudah waktunya buat gue jujur dan memilih antara Edrick atau Irgi.
Edrick orang pertama yang ungkapin perasaannya, yang bahkan sampai sekarang gue belum jawab pernyataan dia malam itu.
"Gak ngerepotin? Gue bisa naik taksi sebenernya."
"Ayo,"
Sepatah kata pun dia gak kasih komentar sama ucapan gue, kenapa dia baik banget. Padahal dia juga tau bagaimana sifat dan sikap gue dulu waktu di sekolah. Bagaimana jahatnya gue bersikap sama Aldy dan Alby hanya demi untuk bersama Eka.
* * *
Setiap orang pasti ingin jadi seorang yang berarti dalam hidup orang lain, orang yang dia cintai, sayangi dan kasihi. Kita sibuk menjadi orang lain, agar bisa diterima. Bersaing dengan sesuatu yang kadang membuat kita buta. Tidak bisa berlogika, melakukan apapun yang bisa kita lakukan demi agar orang yang kita cintai melihat keberadaan kita.
Sementara sibuk dengan hal itu, kita lupa ada orang lain yang berbuat hal yang sama. Mencoba terlihat, menarik simpati, mempunyai pengharapan yang sama dengan kita.
Naif bukan?
Lalu kenapa tidak kita tengok sejenak, melihat bagaimana persamaan itu ada. Betapa sakitnya ketika berusaha, namun tidak dianggap. Membuang waktu demi sebuah kepastian dan pengakuan yang terkadang sengaja tidak diucapkan karena beribu alasan yang dengan sengaja dibuat. Padahal jauh di lubuk hati, asa dan rasanya sama sekali tak berubah, masih bukan untuk kita.
Apa yang selama ini gue rasain buat Irgi adalah cinta. Cinta karena sebuah kenyamanan yang dia berikan, yang gue yakin dari itu semua dia pun mendapat keuntungan. Mungkin salah satunya dia merasa tidak kesepian. Gue adalah penghibur di saat dia merasa siap menerima orang baru, tapi begitu dia ingat Aldy maka yang dia lakukan adalah memaksa lupa bahwa gue ada di depan dia. Bahwa gue yang selama ini menghibur dia dari bayang-bayang Aldy yang sudah meninggal. Gue gak bisa bayangin bagaimana nanti seseorang yang menyukai saudara kembar gue, Eza. Akan sesulit apa orang itu berusaha.
![](https://img.wattpad.com/cover/178242541-288-k773970.jpg)