15

1.8K 171 47
                                    


"Kalo gue minta kita berdua buat tinggal bareng, lo udah siap?"

Apa Edrick sadar sama apa yang dia bilang barusan. Tinggal bersama, gue belom yakin untuk memutuskan hal sebesar itu. Harus ada komitmen yang kuat di antara kita berdua. Tinggal bersama, artinya kita berdua, gue dan Edrick, akan berbagi semuanya berdua. Posisi kita pasti akan berubah, bukan lagi sama-sama sebagai pemimpin. Akan ada yang menguasai dan dikuasai, dipimpin dan memimpin. Apa gue sudah siap untuk menerima semua itu.

Hubungan gue sama dia terbilang masih seumur jagung, kapan saja hati kita berdua bisa berubah. Entah gue atau dia yang terlebih dulu.

"Apa gak terburu-buru?" Gue mencoba memilah pertanyaan yang ada di otak gue, yang sebenarnya jauh lebih tajam dari ini.

"Gue cuma gak mau kehilangan elo, Sa." Klise, orang yang hubungannya jauh sekalipun tetap bisa bersama walaupun tidak seatap. Tapi gue tidak akan berdebat soal opini ini, biarkan saja semuanya mengalir.

Gue peluk dia sambil usapin punggungnya. Mencoba meredam kekhawatirannya, supaya dia gak sampai berpikir sejauh itu. Kami baru saja memulai semuanya, kenapa juga harus memikirkan akhir yang masih rahasia.

"Emang lo ada niat buat ninggalin gue?" Kalau, iya, mungkin gue yang akan melakukan hal itu terlebih dulu.

"Mmm ..."

"Sialan!" Gue pukul punggungnya dia sekeras mungkin.

Tawanya lepas, di ubah posisi tubuhnya, sedikit menjauh, tapi kami masih saling berpelukan.  Tangannya dia melingkar sempurna di pinggang gue, tatapannya seolah menghipnotis, gue ataupun dia gak peduli kalau posisi kita sekarang adalah di kantor.

Cup!

Dia cium bibir gue pelan.

Cup!

Lagi, dia cium sebentar dan lihatin gue lagi.

Cup!

Ini yang ketiga kalinya, gue mau marah, tapi perasaan bahagia gue lebih besar daripada kemarahan gue karena keusilannya dia.

"Drick ... kita lagi di kantor,"

Dia gak peduli sama omongan gue, dia cium bibir gue lagi, sekarang bener-bener ciuman bibir. Dia dorong gue sampai akhirnya bokong gue mentok di meja kerja. Dia lepasin ciumannya sebentar dan angkat tubuh gue buat duduk di atas meja. Dia senyum kasih kode kalau mungkin dia akan melanjutkan ciumannya itu. Dia mulai mencium lagi, menghisap bibir bawah gue pelan dan penuh perasaan. Sekarang lidahnya ikut bergerak. Indra pengecapnya meliuk-liuk, mencari teman sebangsanya lalu sedikit menyentuhnya, berbagi air liur. Rasanya Manis!
Sesekali dia gigit bibir bawah gue dan lalu diisap pelan. Gue pun membalasnya dengan hal yang sama, kami sampai lupa diri menikmati ciuman ini. Deru nafasnya semakin menjadi, membangkitkan hasrat lain yang mungkin jika diteruskan kami berdua akan berakhir di atas meja kerja. Bukan hanya berbagi air liur.

Dia lepas bibirnya pelan-pelan sembari terus memberikan kecupan-kecupan kecil di bibir gue. "Suka?" Tanya dia tanpa menjauhkan wajahnya dari hadapan gue sekarang ini.

Sialan, apa harus, dia bertanya setelah melakukan ciuman sepanas ini. Gue yakin sekarang dia puas banget buat gue salah tingkah sama pertanyaannya dia. Dia pikir gue gak pernah ciuman sebelumnya apa, pernah kok! Iya, pernah, ciuman sama Irgi.

"Sa?"

"Eu? Ah ... udah sana, gue mau kerja." Gue dorong dia supaya menjauh dan gue bisa balik kerja lagi. Tapi kayaknya dia belum mau pergi, dia malah peluk gue dan sembunyi di antara ceruk leher gue.

"Gue bahagia,"

Gue bisa dengar ucapannya dengan sangat jelas. Dia bahagia dan gue juga bahagia, gue bahagia dengan pilihan gue sekarang ini. Walaupun banyak yang tidak mendukung hubungan gue dengan Edrick, tapi gue akan tunjukkan ke kalian para pembaca kalau gue bisa lebih bahagia bersama Edrick.

Who Feels Love?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang