Besok kita cuti kerja.
Gue cuma senyum waktu baca pesan dari Edrick barusan. Belum ada sepuluh menit gue turun dari mobilnya dia, dia langsung kirim pesan.
"Sa,"
Irgi, sejak kapan dia berdiri di sana.
"Gi ..."
Tatapan Irgi gak bisa gue artiin, bukan tatapan orang marah atau pun senang. Dia jalan ke arah gue."Tangan kamu kenapa?"
Tubuh gue reflek mundur satu langkah waktu dia mau pegang tangan gue yang diperban.
Suasana sekarang jadi canggung, dia tarik tangannya yang mau pegang tangan gue barusan. Mungkin dia kecewa, tapi gue harus bertahan, gue gak mau kalau harus terjebak sama perasaan semu yng diciptakan oleh keadaan dan kesempatan di waktu gue berdua sama Irgi."Cuma kecelakaan kecil tadi di kantor."
Kita berdua cuma saling tatap, jujur berat buat ambil keputusan ini, tapi gue juga manusia yang mau bahagia dan punya masa depan. Bukan hanya pengharapan yang tiada akhir.
"Gi ..."
"Iya," tatapan dia seolah penuh pengharapan, berharap gue berubah pikiran mungkin, soal jawaban gue kemarin.
"Tolong, jangan lakuin ini lagi." Gue nunduk, gak sanggup buat tatap wajahnya dia.
"Tapi, aku gak mau lepasin kamu,"
Apa kamu baru sadar selama ini, Gi? Apa kamu baru sadar keberadaan aku setelah aku pergi?
"Dan gue gak mau kehilangan lo."
Tangan dia terangkat dan pegangin bahu gue, setelah dengar jawaban gue barusan."Gue gak mau kehilangan satu-satunya teman terbaik gue, teman yang selalu dukung gue di saat gue merasa lelah dengan apa yang terjadi. Teman yang selalu ada di saat gue butuh buat cerita dan mengeluh."
Ya, Irgi selama ini menganggap gue sebagai teman. Teman yang butuh nasihat dan dukungan moral, bukan sebagai seorang yang membutuhkan simpatik dan kasih sayang.Tangan dia mulai turun, perlahan lepas dari bahu gue.
"Selama ini apa yang gue rasa ke lo takut buat gue ungkapin karena gue takut lo bakal ngejauh, atau bahkan gak mau kenal sama gue. Selama ini gue berharap kalau suatu saat lo bakal sadar dan tau kalo gue suka sama lo. Dan akhirnya lo ngajak gue buat tinggal di Auckland, lo kira gue bakal bahagia?"
Dia masih diam, mungkin apa yang gue bilang adalah kebenaran karena dia gak menyangkal sama sekali.
"Gak, Gi, gue gak bahagia. Gue kecewa. Kenyataannya lo masih inget sama Aldy, lo masih inget sama semua kenangan lo itu. Dan pada akhirnya gue cuma akan jadi pelampiasan."
"Kamu salah, Sa."
"Kalau begitu biar selamanya gue salah, karena kesalahan ini gue akhirnya bisa sadar dan tau hubungan apa yang seharusnya kita jalani."
"Sa ..."
"Gue mau lo bahagia, Gi. Gue mau lo lupain semuanya, jangan jadi seperti Eza."
"Apa kamu sama laki-laki itu ...?" Pertanyaan Irgi menggantung, mungkin dia ragu buat bertanya.
Dan sekarang gue harus jujur, gue harus bilang ke Irgi kalau sekarang gue sama Edrick punya hubungan yang lebih dari teman. "Gue sama Edrick, sekarang kami dalam hubungan yang baik, gue bahagia sama dia dan gue berharap lo juga bahagia." Setelah ucapan itu, perasaan gue sakit banget, tapi ada sesuatu yang rasanya lepas, sesuatu yang sudah lama tertanam di hati.
Dia diam lagi, mungkin dia gak berniat buat berkomentar dan gue pun gak berniat buat kasih penjelasan lagi.
"Gue rasa cuma itu, gak ada yang mau gue omongin lagi. Gue masuk dulu, Gi. Selamat malam."