Tiga minggu setelah kepergian Oma Aron, gue dan Edrick mulai sibuk mengurus pernikahan kami berdua. Gue juga sibuk mengurus sekolah Aron yang harus pindah dari sekolah lamanya ke sekolah baru yang deket dengan rumah gue. Aron sekarang ini tinggal di rumah gue sejak Omanya meninggal, gue yang mengurus dia karena Edrick belum memberitahu kedua orangtuanya. Gue memutuskan untuk berhenti bekerja selagi mengurus Aron dan penrikahan gue dengan Edrick.
Aron terkadang masih menangis saat mengingat omanya, untunglah Mama dan Papa bisa menggantikan posisi omanya.
Gue memilih sekolah di mana Kavin dan Jevan bersekolah, alasan gue adalah karena Aron sudah mengenal Kavin dan juga ada Jevan di sana. Gue berharap dengan adanya Kavin dan Jevan, Aron bisa cepat lupa dengan kesedihannya.
"Bekalnya jangan lupa dibawa," gue melepas sabuk pengaman Aron dan membantu dia keluar dari mobil.
"Momy roti panggangnya keras kalo udah siang,"
Gue memang belum bisa masak dengan sempurna, gue belum ada waktu untuk belajar masak, jadi setiap hari gue hanya membuat makanan yang bahannya sudah siap seperti roti tawar.
"Jangan bawel," gue merapikan baju seragam sekolah Aron dan merapikan rambutnya.
"Momy!"
"Apa lagi?"
"Cium,"
Gue kembali berjongkok dan mencium kedua pipinya. "Belajar yang rajin,"
* * *
Gue ada waktu sampai pukul dua belas siang, gue harus urus jasa katering yang akan kami sewa untuk pernikahan kami nanti. Dan juga rumah yang akan kami tempati nanti, masih ada beberapa hal yang belum dipersiapkan. Gue harus membeli peralatan makan yang masih kurang banyak banget.
"Sa ..."
"Iya, Ma?"
"Mama boleh ngobrol sebentar?"
Gue yang sedang mencatat beberapa keperluan untuk rumah baru gue dan Edrick segera menghampiri Mama yang sedang memasak di dapur.
"Kenapa, Ma?"
"Mama mau ngobrol soal Aron,"
Gue paham, Mama pasti masih ragu soal gue yang harus mengurus Aron.
"Apa kamu yakin bisa jaga dia?"
"Ma ... Esa yakin dengan pilihan Esa." Gue menggenggam erat jemari Mama dan tersenyum lembut.
Semenjak gue mengurus Aron dari dia bangun tidur sampai dia tidur lagi, bahkan mengajari Aron tentang pelajaran di sekolahnya, hidup gue seolah perlahan-lahan berubah. Gue menjadi seseorang yang lebih sabar.
"Mama cuma takut, apa yang menimpa Aldy dulu-"
"Ma!" Gue dengan segera memotong ucapan Mama. Gue gak mau kalau apa yang menimpa Aldy dan Eza selalu menjadi patokan hubungan untuk orang-orang di sekitar Aldy ataupun Eza dalam memulai sebuah hubungan. "Itu takdir, jangan ungkit lagi."
Belajar, mengalah dan tidak bersikap egois, itulah hal yang gue dapat ketika hubungan gue dan Irgi berakhir. Padahal banyak orang yang mendukung gue saat itu, tapi kenyataanya semua tidak berhasil. Itu karena gue ataupun Irgi berdiri di atas ego yang begitu tingginya. Gue yang memang terlalu menunggu dan Irgi yang selalu menunda. Itulah yang gak akan gue ulang dalam hubungan yang gue jalani sekarang, bersama Edrick.
"Esa akan bahagia, Esa, Edrick dan Aron, akan jadi keluarga yang bahagia."
* * *
Edrick berjanji kalau hari ini dia akan mengajak Aron makan siang bersama, gue bilang ke dia kalau memang jadwal dia padat dia gak perlu lakuin itu, tapi tetap saja Edeick bilang akhir-akhir ini Aron lebih dekat dengan gue dan mulai melupakan dia.