Dengan tangannya yang lembut, Jisa mengobati wajah Jeno dengan kapas yang berisi obat merah.
Jeno hanya diam dan terkadang meringis karena perih yang ia rasakan. Tak sesekali juga Jeno memperhatikan Jisa yang fokus mengobati dirinya.
"besok kamu sekolah masa kaya gini?" kata Jisa.
Jeno mencoba tersenyum, "gapapa, bilang aja habis berantem sama kakak. Emang bener kan?"
Jisa tidak menjawab. "bukan berantem sih, aku nya yang dihajar." lanjut Jeno.
Selesai mengobati Jeno, Jisa ingin menaruh kembali kotak obat yang ia ambil tadi, namun saat berdiri ia merasakan keram diperutnya.
"akh.." ringis Jisa sambil memegang perutnya yang sudah sedikit buncit.
"kenapa Sa??" tanya Jeno khawatir.
Jisa menggeleng. "g-gapapa, cuma keram doang."
Jeno menghela nafas. "istirahat, kamu kebanyakan nangis. Jangan kecapean kaya gini, aku gamau kenapa napa sama bayinya. Kamu juga harus sehat terus."
"udah biar aku yang taruh." lanjut Jeno yang kemudian mengambil kotak obat itu dari tangan Jisa.
Saat Jeno menaruh kotak obat tersebut, mama Jeno keluar dari kamar dan melihat Jisa yang sedikit meringis sambil memegang perutnya.
Pandangannya kemudian beralih pada anaknya Jeno yang membawa segelas air untuk Jisa.
"minum, pelan - pelan."
Jisa menurut hingga air didalam gelas tinggal tersisa setengah.
"tidur, ya?" Jisa menggeleng. "aku ga ngantuk."
"tapi harus istirahat. Ayo ke kamar aku, kamu tidur disana." Jeno berdiri dan menarik pelan tangan Jisa. Mereka berjalan berdampingan dengan Jeno yang merangkul pinggang Jisa.
"tidur di kamar bawah dulu, nanti kalo ada apa - apa aku biar gampang bolak balik dapur." kata Jeno yang masih bisa didengar oleh mamanya.
Mama Jeno yang melihat itu menahan air matanya. Dia merasa kecewa, tapi merasa bangga karena anaknya yang bertanggung jawab dan terlihat dewasa.
Mama Jeno kembali ke dalam kamar, Donghae yang melihat sang istri menangis hanya mengerutkan dahinya.
"kenapa lagi ma?"
"kita harus tentuin tanggal pernikahan mereka. Secepatnya."
.
"masih keram?" Jeno mengelus perut Jisa. Jisa yang merebahkan dirinya, hanya mengangguk. "sedikit."
"aku kompres gimana? Bisa kan?" tanya Jeno memastikan.
Jisa berpikir sejenak. "bisa, air nya jangan panas jangan dingin."
"yaudah tunggu sebentar." Jeno langsung saja pergi ke dapur. Ia menyiapkan semuanya dengan hati hati. Jeno sendiri tidak apa apa jika orang tuanya tidak mau membantu, tapi jika Jeno tidak bisa melakukannya sendiri, ia pasti akan meminta bantuan.
Jeno kembali ke kamar, ia meremas handuk kecil, kemudian duduk menyender disamping Jisa. "deketan sini."
Jisa bergeser lebih dekat, kemudian Jeno mengompres perut Jisa. Tentu Jisa merasakan kehangatan.
"enakan?" Jisa mengangguk.
"Jen,"
"hm?"
"aku— pengin yang manis manis." kata Jisa sedikit malu. "aku tau sih ini ga tepat tapi, tiba tiba pengin." katanya sambil menatap Jeno seperti berharap.
Jeno malah terkekeh. "apanya yang ga tepat? Aku bisa beliin kok. Yaudah ini kamu kompres pelan pelan aja, aku keluar dulu beliin kamu manisan"
"tapi muka kamu kaya gini."
"bisa pake masker. Udah gapapa." Jeno bangun dan mengambil jaket beserta masker hitamnya.
"tunggu, sepuluh menit."
Setelah Jeno keluar, Jisa berusaha untuk duduk walau merasakan sakit diperutnya.
Merasa bosan, Jisa keluar dari kamar dan ingin berkeliling diluar. Jisa sudah ditaman dan ia melihat Doyoung dengan wajah marahnya. Doyoung duduk sambil meremat ponselnya.
"..kak?"
Sapa Jisa pelan. Doyoung mendongak dan melihat Jisa sekilas.
"apa."
Dengan ragu ragu, Jisa duduk disamping kakak iparnya. Ya, memang seharusnya kakak ipar kan? Maksudnya calon.
"..aku tau, kakak marah banget sama Jeno, tapi jangan benci dia."
Doyoung melihat kondisi Jisa disampingnya. Kurus, padahal dia sedang mengandung, tapi seperti tidak dirawat.
Doyoung menghela nafas, "gue gatau apa yang ada dipikiran kalian."
Jisa tersenyum. "iya aku tau kak, kita berdua salah, udah ngelakuin hal yang paling dosa. Jeno pernah larang aku untuk gugurin bayi ini, dia marah banget sama aku... dia bilang dia bakal tanggung jawab, walau awalnya dia sempat menjauh."
Doyoung diam.
"waktu tadi, kak Doyoung mukul Jeno, Jenonya cuma diem. Dia kaya, tau itu emang pantas buat dia." suara Jisa memelan.
Doyoung menatap tangannya yang tadi memukul adiknya sendiri. Ia memang sangat emosi saat mendengar teriakan dari mamanya. 'adik kamu hamilin anak orang' sambil menangis.
"terus sekarang apa?"
Jisa memandang Doyoung. "maafin Jeno kak, jangan marah sama dia. Aku yakin Jeno juga pasti butuh seseorang buat ngedukung dia, aku juga yakin kalau, Jeno pasti akan ngeluarin keluh kesahnya, entah ke siapa."
"memang kamu sendiri gaada keluh kesahnya?" tanya Doyoung.
Jisa berpikir sejenak. "ya, ada. Aku kan udah pasti curhatnya ke Jeno."
"Kak Doyoung, ga masalahkan punya adik ipar kaya aku?"
Doyoung kembali menoleh pada Jisa. "jahat dong kakak kalo bilang masalah punya adik kaya kamu."
Jisa tersenyum lebar mendengar kata Doyoung. "makasih kak. Maafin aku juga."
"gausah minta maaf, bukan salah kamu."
"kak, aku boleh peluk kakak?"
"hm?" Doyoung menatap Jisa sebentar, lalu mengangguk. "boleh lah."
Jisa memeluk Doyoung dan menyender didada kakaknya itu. Doyoung memeluk Jisa dengan hati hati, takut perutnya akan sakit. Ia juga mengusap punggung adik iparnya itu.
"udah ga marah lagi kan kak?"
"kalo sama kamu sih engga, gatau sama Jeno."
Sepulang dari minimarket, Jeno melihat itu semua.
✖✖✖✖✖✖✖✖✖✖✖✖✖✖✖✖✖✖✖✖✖✖
Pelukan dulu sama kak doyoung
KAMU SEDANG MEMBACA
[1]MISTAKE; happier | Lee Jeno✔️
Fanfiction[17+] Masalah ini muncul karena kesalahannya sendiri. mungkin saja, Jeno bisa menyelesaikan nya. Terinspirasi dari film 'Jenny & Juno'