Jeno saat ini sedang duduk lesehan di kamarnya. Ia melipat kaki nya sembari bersandar di dinding. Pikirannya kini kosong, namun sesungguhnya yang ia pikirkan adalah bagaimana nasib nya dengan Jisa sang kekasih yang sekarang sedang mengandung.
Menghela nafas kasar, Jeno mengacak rambut hitamnya dan segera bangkit.
Klek
"Jen, kenapa masih diem aja? Ayo sarapan nanti kamu malah telat sekolahnya"
Jeno hanya berdeham mendengar kalimat dari Ibunya. Ia segera mengambil tas dan menuju dapur untuk sarapan. Disana sudah ada Ayah dan juga kakaknya Doyoung.
"lo kenapa sih dari tiga hari yang lalu gue liat murung terus." Doyoung menyantap makanannya setelah melontarkan kalimat itu. Sang Ayah hanya melirik sekilas pada Jeno lalu kembali menyeruput kopi hitam buatan sang istri.
"ga kenapa."
"ternyata ga cuma mama aja yang sadar." Jeno mendongak pada Ibunya, lalu kembali menyantap sayur sop kesukaannya. Tapi kali ini, Jeno juga tidak menunjukan nafsu makan yang biasanya.
"mama udah pernah bilang, kalau ada masalah itu cerita, jangan diem gini aja. Nanti ujung ujungnya ada panggilan orang tua ke sekolah, gimana?"
Sang Ibu duduk dihadapan nya dan ikut sarapan bersama. Memang pernah Jeno tidak sengaja membuat masalah sampai Ibunya harus ke sekolah. Tapi itu hanya sekali, dan Jeno takut itu akan terjadi lagi, dengan masalah yang berbeda.
Jeno meletakkan sendok makannya dan berdiri untuk segera berangkat.
"aku berangkat."
Pamit, tanpa salam dengan kedua orang tuanya dan juga kakak laki - laki nya, itu membuat mereka semakin memikirkan bahwa Jeno memang ada masalah.
--
Jeno sudah sampai didekat sekolah dengan selamat, tentu. Seperti biasa berjalan kaki, lalu menggunakan angkutan umum. Itu sudah setiap hari ia lakukan.
Langkahnya terhenti melihat Jisa yang berjalan sambil menunduk. Jalannya sangat lambat, bahkan Jeno lihat Jisa terlihat lebih kurus.
Entah sudah berapa kali ia selalu membuang napasnya dengan kasar. Jeno sebenarnya sangat bingung. Apa yang harus ia lakukan sekarang, ia bahkan tidak tahu.
Jeno mendekati Jisa dan membuat gadisnya menghentikan langkah kecil itu.
Jisa mendongak. "Jeno"
Jeno membasahi bibir bawahnya, ia lalu menggenggam tangan mungil Jisa dan masuk kedalam sekolah.
"udah sarapan belum?"
Menggeleng mendengar pertanyaan Jeno, Jisa hanya jalan menunduk sambil menatap genggaman tangannya pada Jeno.
Jeno mendecak, "kenapa belum? Sa, kamu ga lupa kan ada anak kita di perut kamu?"
Langkah Jisa terhenti, ia menatap Jeno tidak percaya. Maksudnya, Jisa pikir Jeno tidak akan menerima bayi kecil di perutnya yang masih rata.
Jisa tersenyum melihat Jeno yang terlihat marah namun, kemarahannya itu lebih terlihat mengkhawatirkan dirinya.
Koridor terlihat sepi, Jisa kemudian menarik bahu Jeno dan berjinjit untuk mencium pipi kekasihnya itu.
"dari kemarin aku pengin makan daging sapi, tapi gatau mau minta ke siapa" ucap Jisa kembali berjalan untuk memasuki kelas.
"kenapa ga bilang? Kan aku bisa beliin."
"maunya. Tapi kamu keliatan cuek dari lusa, aku kira kamu bakal jauhin aku" Jeno menjadi diam mendengar kalimat Jisa yang sangat pelan.
"maafin aku."
Jisa menggeleng. "aku sempat khawatir kalau kamu memang beneran mau ninggalin aku."
"Sa."
"hm?"
"mau bolos ga?"
"kita bentar lagi mau ujian, jangan keseringan bolos Jen."
"kali ini aja. Ini yang terakhir, janji."
Jisa menatap Jeno dengan matanya yang memicing. "bener ya?"
"iya sayang."
--
KAMU SEDANG MEMBACA
[1]MISTAKE; happier | Lee Jeno✔️
Fanfic[17+] Masalah ini muncul karena kesalahannya sendiri. mungkin saja, Jeno bisa menyelesaikan nya. Terinspirasi dari film 'Jenny & Juno'