Dua hari berlalu begitu saja namun Park Jeymin juga belum sadarkan diri. Raut ketakutan dan kekhawatiran Kim Deyra semakin menjadi-jadi saat melihat pria itu begitu pulas dalam tidurnya yang panjang.
Deyra kembali datang ke rumah sakit setelah ia menuntaskan kasusnya dengan kepolisian.
Untungnya Deyra memiliki sahabat baik yang begitu mengenalnya sejak lama, Choi Jongin telah membantunya dari jeratan hukum yang berlaku. Tak disangka-sangka ternyata teman baiknya ini mengenal akrab dengan polisi yang sempat mengikutinya kemana-mana.
Sekali lagi ia merasa bersyukur telah mendapat kemudahan. Meski ini tidak di benarkan, hanya saja tuhan sedang ingin berbaik hati dengannya kali ini.
Choi Jongin mengerti sekali akan masalah yang sedang Deyra hadapi. Sebagai teman baik sekaligus direktur dari tempat Deyra bekerja. Choi Jongin memiliki tuntutan untuk membantu menuntaskan setidaknya sedikit saja beban hidup Deyra. Tentunya dengan menggunakan semua yang ia miliki. Ia bisa membebaskan Deyra dari tahanan polisi selama satu hari dan mengambil kembali mobil Deyra yang dijadikan barang bukti.
Karena mobil Deyra adalah salah satu aset utama yang ia miliki. Jongin rasa ia harus benar-benar mengambil mobil itu kembali pada pemiliknya. Lagi pula rusaknya juga tidak parah, jadi Jongin mengirim kendaraan itu untuk di reparasi.
Berkali-kali Deyra berterimakasih pada tuhan karena memiliki teman baik seperti Jongin.
Semudah membalikkan telapak tangan bukan? Ketahuilah, ini hanya berlaku bagi siapapun yang memiliki harta dan tahta.
Kim Deyra datang membawa buket bunga yang telah ia letakkan diatas nakas samping tempat tidur Jeymin. Jemarinya mengusap lembut punggung tangan Jeymin yang terhias jarum infus.
Tuan... cepat sadar lah Tuan... Tuan membuatku takut. Deyra bergumam dalam hatinya sendiri.
Merasa cukup lama ia berada di dalam memastikan keadaan Jeymin. Seketika ia teringat akan ibu Park yang tak kunjung masuk ruangan, bahkan sebelumnya Deyra melihat ibu Park berada di kursi luar sedang duduk bersantai. Kemudian Deyra beralih menuju ke luar ruangan untuk memastikan apakah ibu Park masih ada di luar.
Deyra telah membuka pintu ruangan dan yang ia dapati saat ini adalah pemandangan ibu Park yang sedang terdiam dengan tatapan kosong. Lagi-lagi dirinya merasa bersalah yang teramat dalam. Tatapannya yang kosong mengartikan kepasrahan, ibu Park tidak tau harus bagaimana lagi dengan nasib putranya.
Ibu Park sadar dari lamunannya ketika Deyra telah menutup rapat pintu ruangan yang sempat menimbulkan suara. Deyra mengambil posisi duduk disebelah ibu Park dan menatap sembari tersenyum ramah pada wanita tua itu.
“Bibi... bibi sudah makan siang ini?” tanya Deyra melepas keheningan.
“Sudah Deyra. Bibi sudah makan jam delapan tadi.”
Deyra melirik sekilas jam tangan yang melingkar di pergelangannya. “Tapi bibi, ini sudah jam dua siang. Bibi belum makan siang.”
“Tapi bibi belum lapar Deyra. Bibi masih kenyang.” jawabnya datar dan kembali matanya pada pandangan kosong.
Deyra menggengam tangan ibu Park dan memandangnya dengan wajah cemas. “Bibi makan ya. Nanti kalau bibi telat makan, bibi bisa sakit.”
“Tidak Deyra, bibi belum lapar.”
Deyra mengerti sekali bagaimana firasatnya mengatakan jika seorang ibu dihadapannya ini begitu terpuruk. Sangat terpuruk. Ia sampai tidak enak hati jika seorang ibu bisa sampai menjadi korban keterpurukan yang disebabkan olehnya juga. Ia memandang lekat mata seorang ibu yang sedikit sayu dan berkaca-kaca entah habis memikirkan apa. Tapi jelas Deyra tau, bahwa mata itu menjelaskan bagaimana kesedihannya terhadap sang putra.
KAMU SEDANG MEMBACA
5. LIGHTS | PJM ✔
Fanfiction[Bukan seperti cerita pernikahan yang sering kamu baca. Karena di sini wanitalah yang dominan bertanggung jawab. ] "Sudah ku duga. Bahkan kau juga tidak sudi memiliki suami buta seperti ku." -Park Jeymin. Bagaimana cara menuntaskan rasa bersalahmu...