Cuaca siang ini begitu panas. Beberapa hari ini hujan tidak pernah turun. Wanita-wanita yang bekerja di kebun teh terlihat sibuk dengan pekerjaannya. Terlihat jelas raut wajah kelelahan di wajah mereka yang merah terbakar.Laju delman yang di tumpanginya bergerak perlahan-lahan. Selain karena jalanan yang agak sempit, sepertinya kuda itu pun kelelahan. Lelaki itu merapatkan topi bundarnya, sambil mengamati sekeliling desa. Hari ini ia kebetulan bertugas mengecek pasokan hasil desa yang akan ia bawa ke kota. Kalau bukan masalah perusahaannya,ia tak akan mungkin rela berpanas-panasan untuk datang kesini.
Sang kusir menghentikan delmannya dengan sekali hentakan. Kuda itu nyaris memekik. Lelaki itu tersenyum ramah lalu memberi upah lumayan banyak untuk sang kusir. Dengan gembira, sang kusir menerimanya dan berlalu pergi. Sebuah rumah, semacam rumah panggung berdiri kokoh di hadapannya. Rumahnya begitu hijau dengan banyaknya pepohonan yang berdiri di sekelilingnya. Halamannya cukup luas, sangat sesuai dengan bentuk rumah tersebut. Tak lama kemudian, lelaki itu mengayunkan langkahnya memasuki rumah tersebut.
"Maaf Meester, ada yang bisa saya bantu?"seorang lelaki muda, kira-kira berusia 20 tahunan menyapanya ramah. Ia pikir, pastilah lelaki itu seorang yang terpelajar. Mengingat sapaan dan tata bahasa yang digunakannya tadi.
"Saya mencari Kediaman Tuan Sastrawijaya. Apa benar disini?"
"Ya, Meester, benar.Aku yakin anda orang yang ditunggu-tunggu ayah sepanjang siang ini," kata pemuda itu. "Mari masuk, Meester."
Lelaki itu berjalan di samping sang pemuda yang ternyata adalah pemilik rumah tersebut. Rumah itu ternyata jauh lebih indah dari yang ia pikirkan. Sumber suara terdengar dari halaman belakang rumah yang belum dilihat olehnya.
"Kami memiliki peternakan unggas dan kuda di belakang, Meester." Kata pemuda itu seolah-olah bisa membaca pikirannya.
"Ya, Kudengar Tuan Sastra memiliki usaha yang bagus," jawabnya sekenanya.
"Ayah memang sangat sukses di bidang itu, Meester," pemuda itu tersenyum mengetahui ayahnya di puji.
Sampailah mereka di sebuah ruang tamu luas bernuansa cokelat hijau, yang memberikan kesan hangat. Seorang pelayan menyilahkannya duduk, lalu pergi ke dalam. Sementara pemuda tadi menghilang, bersamaan dengan munculnya suara berat yang ramah dari dalam rumah.
"Ah, rupanya kau, Si Tuan Muda Stefano!"kata Tuan Sastrawijaya.
Stefano tersenyum ramah lalu mengayunkan topinya dengan hormat. Atas permintaan pelayan, ia membuka Mantelnya, lalu menyerahkannya untuk digantungkan.
"Apa gerangan yang membuatmu datang kemari? Tak biasanya Tuan Muda sepertimu mau berkunjung ke Desa begini," ujar Tuan Sastra.
"Masalah bisnis, tuan," Stefano menjawab dengan suaranya yang khas dan tegas. Seorang pelayan meletakkan suguhan bawaannya di atas meja.
"Katakan padaku Tuan Muda."
"Saya mencari kuda-kuda kuat untuk perlombaan kuda bulan depan, tuan. Dan kabarnya, anda memiliki banyak populasi kuda seperti itu. Saya ingin melihat-lihat peternakan anda," Stefano menjawab.
"Luar biasa, Tuan Muda. Dengan senang hati aku izinkan anda melihat-lihat kuda itu." Stefano tersenyum senang, ia lalu mengambil secangkir teh dan meminumnya.
"Aku akan membawamu ke istal sekarang, dan kau bisa menanyakan tentang kuda-kuda itu kepada Putriku."
Kedua lelaki itu berjalan menuju istal di belakang rumah. Sebuah istal kuda besar terletak di bawah rumah tersebut yang hanya di kelilingi tiang. kandang itu menjorok masuk ke dalam. Sementara itu, terlihat juga kandang-kandang ayam di seberangnya. Ada sebuah mesin, yang dikiranya tempat meletakkan telur-telur yang akan menetas. Berjalan ke istal, ia mulai melihat kuda-kuda kuat itu sedang memakan
makanannya."Ayah, kenapa enggak istirahat di kamar saja?"
Seorang gadis muda, kira-kira berusia belasan tahun, kelihatan menenteng sekeranjang telur lalu menghampiri si Tuan Rumah. Saat itulah tatapan mata Stefano tak terahlihkan pada yang lain lagi. Seorang gadis cantik, berdiri dengan anggunnya di hadapannya. Pakaiannya yang kotor, tak sedikitpun menyembunyikan kecantikan tubuhnya, dan.....astaga. Stefano begitu menyukai rambut hitam panjangnya yang kelihatan halus dalam balutan tudung kepalanya.
Tuan Sastra menjelaskan maksud kedatangannya ke istal. Sang gadis tak lagi cemberut ketika menatap langsung ke arah Stefano. Stefano buru-buru berdeham, lalu pura2 tak memperhatikan gadis itu.
"Tuan Muda, putriku akan mengenalkanmu pada kuda-kuda itu. Aku mohon maaf tidak bisa menemanimu karena ia memintaku istirahat di kamar."
Stefano mengangguk mengiyakan. Tuan Sastra lalu berjalan kembali memasuki rumahnya. Lelaki itu berjalan terhuyung, kelihatan sekali ia sedang sakit. Sementara Ayahnya berlalu, si gadis menghampiri Stefano dengan perlahan. Ia kelihatan sedikit malu, namun tetap bersikap anggun.
"Mari, Meester. Kuda mana yang kira-kira akan anda pilih?"
Stefano bergumam, ia sedikit terkejut dengan sikap ramah sang gadis.
"Saya ingin melihat-lihat dulu. Kemungkinan disini ada kuda yang bisa diikutkan lomba nanti."
"Ah, kurasa Silver Blaze akan cocok," kata gadis itu. Stefano memperhatikan mata cemerlang gadis itu. Ia kelihatan mirip dengan pemuda yang tadi menyapanya di pintu gerbang.
"Boleh saya tau, yang mana Silver Blaze?" Stefano tertarik.
"Mari, Meester. Ia berada di istal sebelah sini."
Berjalan beriringan, Stefano terus memperhatikan gadis itu. Jalannya yang gesit, namun tetap anggun. Sampailah mereka pada sebuah Istal yang dikhususkan untuk seekor kuda saja. Silver Blaze rupanya seekor kuda yang paling besar dari kuda-kuda yang lain. Warnanya putih, dengan daging yang begitu kokoh. Ia berdiri gagah dengan tatapan mata hewan yang menusuk, melihat orang lain selain majikannya. Entah kenapa, Stefano begitu jatuh cinta terhadap kuda itu.
Dengan lembut, gadis itu menyapa lalu menarik tuas pintu istal agar membuka. Ia lalu menarik tali kekang kuda tersebut dan mengeluarkannya. Kuda itu sama sekali tidak memberontak, ia malah terlihat senang dengan kedatangan majikannya."Silver Blaze sudah pernah mengikuti beberapa perlombaan. Dan dia menang, anda bisa melihat bukti piala-piala miliknya itu di kantor pribadi Ayah, Meester," lanjut gadis itu.
"Ini sungguh kuda yang kucari. Nona, apa kuda ini milikmu pribadi?" tanya Stefano, tersenyum untuk yang pertama kalinya kepada gadis itu.
"Benar, Meester. Tapi aku tidak keberatan jika anda meminjamnya untuk perlombaan nanti," kata gadis itu.
Stefano tersenyum mendengarnya.
Stefano memutuskan untuk kembali, karena ia harus mengurus pekerjaannya yang lain. Setelah berpamitan dengan Tuan Sastra, ia hendak berjalan ke arah gerbang ketika sebuah suara nyaring memanggilnya."Mantelmu, Meester!"
Gadis itu berlari ke arah delman yang ia tumpangi untuk menyerahkan mantel abu-abu miliknya. Stefano terkejut, bagaimana mungkin ia bisa melupakan mantelnya sendiri. Dan gadis ini yang datang mengembalikannya.
Tiba-tiba, suatu rasa penasaran menghinggapinya. Ia ingin tau, siapa nama gadis cantik itu.
"Panggil saya Stefano, nona. Kukira kita seusia?" Stefano mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan. Gadis itu segera membalasnya.
"Senang bertemu denganmu kalau begitu, Stefano. Aku Indira Sastrawijaya."
Ada binar kesenangan di wajah Stefano. Ia mengangguk, menyukai nama gadis pribumi itu.
"Saya akan kembali kesini Indira. Bisakah kamu menjaga Silver Blaze untuk saya?"
"Tentu, Stefano."
Stefano lalu berjalan menuju delman yang sudah dipanggilkan untuknya. Alih-alih melihat kembali pemandangan di sekitar rumah saat delmannya berjalan, matanya malah bertubrukan dengan mata Indira yang juga sedang menatapnya dari kejauhan. Stefano tak bisa mengalihkan pandangannya dari wajah cantik tersebut. Pelan-pelan, ia tersenyum ke arah Indira, yang lalu dibalas dengan senyuman oleh gadis pribumi itu.

KAMU SEDANG MEMBACA
Accident Of My Imagination Praised By Her(REVISI)
RomanceBerawal dari pertemuan seorang gadis desa dengan majikannya.Semenjak tinggal bersama,keduanya saling mencintai dan berjanji tak akan saling melespaskan.Hingga ketika takdir berubah menjadi mimpi buruk bagi keduanya yang harus berpisah....