Bab 2

1.5K 59 0
                                        

Ir.Sastrawijaya menatap lurus ke arah  Stefano. Pemuda tampan itu baru saja tiba dua puluh lima menit yang lalu, dan tiba-tiba meminta putri bungsunya untuk ikut bersamanya. Stefano berjanji akan menyekolahkan gadis cantik itu. Ia juga menjadikan perusahaannya sendiri sebagai jaminan jika terjadi apa-apa terhadap Indira. Lelaki tua yang masih merasa syok itu pelan-pelan menarik napas dalam. Putrinya berdiri disampingnya, terus memegang lengan gemuknya.

"Kau yakin, Tuan Muda? Aku bukanlah seorang yang mudah percaya begitu saja menyerahkan putriku pada orang lain. Aku tak bisa membayangkan bagaimana nasibnya berada jauh dariku," kata Tuan Sastra.

"Keputusan ada di tangan putrimu, tuan," jawab Stefano yakin. Ia menatap Indira. Gadis itu hanya di belakang ayah-nya yang kini duduk membelakanginya. Sementara Arya, kakak laki-lakinya belum mengeluarkan suara sama sekali.

Indira sangat tergiur dengan tawaran Stefano. Ia ingin kuliah. Sangat ingin. Betapa pun ayahnya melarang untuk pergi, ia akan pergi. Demi mengejar mimpinya. Namun, bayangan Stefano muncul di kepalanya. Ia sama sekali belum mengenal lelaki itu dengan baik. Bagaimana mungkin ia akan percaya bahwa Stefano akan menjaganya?
Tuan Sastra memerintahkan Indira masuk ke dalam kamar. Indira tak bisa membantah. Ia lalu beranjak ke dalam kamar, meninggalkan tatapan berharap pada Stefano.

Indira terpaku di depan pintu kamarnya. Ia begitu penasaran sebenarnya apa maksud Stefano yang coba-coba membawanya pergi. Pergi dengan Stefano berdua, membuatnya memikirkan sesuatu yang mengerikan. Banyak gadis pribumi sepertinya yang dibawa pergi oleh orang asing namun tak pernah kembali. Pelayannya memasuki kamarnya, membawa sebuah koper besar. Terlihat raut wajah sang pelayan yang kelihatan sedih.

"Ada apa, bik? Untuk apa koper ini?" tanya Indira, menatap heran pada koper yang dibawa Bik Ngatini tersebut.

"Selamat jalan, Non. Barusan Tuan menyuruh saya mengemasi barang-barangmu, cah ayu. Cah ayu akan ikut bersama Tuan Stefano."

Indira terkejut bukan main. Apa yang telah diperbuat Stefano sampai-sampai  ayahnya mengijinkannya untuk pergi. Ini bagaikan mimpi baginya.

"Bik, ceritakan semuanya padaku.  Apa yang sudah terjadi diluar sana?" Tanya Indira disertai rasa penasarannya yang meluap.

"Pergilah, nak. Ayah menyetujui permintaan Stefano. Tuan Muda akan mengurusi biaya kuliahmu disana, sementara itu, kamu akan tinggal di rumahnya."

Ayah-nya tiba-tiba muncul di ambang pintu kamar-nya. Lelaki tua yang begitu ia sayangi itu tersenyum ke arahnya, seolah ingin membuat putri-nya yakin, bahwa apa yang ia katakan barusan adalah sebuah perizinan. Indira terkesiap. Tinggal bersama Stefano? Apa yang harus ia lakukan? Ia begitu senang mendengar bahwa ia akan kuliah di luar negeri. Tapi, kini permasalahannya adalah perpisahan dengan ayahnya. Haruskah secepat itu?

Indira berlari, memeluk ayahnya dengan erat. Air mata mulai mengalir di kedua pipinya. Ia menangis terisak tatkala sang ayah membalas pelukannya. Begitu banyak kenangan dengan sang ayah. Begitu cepat pula ia harus meninggalkannya. Bahkan tanpa  ia duga sedikitpun, hal ini terjadi.

"Jangan sedih, nak. Ayah tau ini cukup berat. Tapi bukankah kamu ingin kuliah? Stefano begitu baik mau menyekolahkanmu, nak. Ikutlah dengannya. Ayah akan baik-baik saja disini."

"Bagaimana aku harus meninggalkan ayah dalam satu hari seperti ini? Kapan aku bisa melihat ayah lagi setelah berada jauh dari ayah?"

"Kita bisa berkirim surat, atau kamu bisa pulang kesini beberapa waktu sekali"

Berjalan beriringan disamping Stefano, Indira terus menundukkan kepalanya. Mata sembabnya ia tutupi dengan kacamata hitam milik Stefano. Lelaki itu sangat perhatian, mau meminjamkan kacamata miliknya ketika melihat mata sembap Indira. Kini mereka berada di bendara, bersiap untuk terbang ke Inggris. Setelah menyiapkan keperluannya dari pagi hingga sore, barulah Indira siap berangkat. Ia menyempatkan makan siang bersama anggota keluarga dan pelayan pribadinya. Bik Ngatini tak henti-hentinya memeluk gadis itu. Sejak kecil Indira memang sudah diasuh wanita itu. Ketika ibunya meninggal, ia semakin dekat dengan Bik Ngatini. Tak heran jika ia sudah menganggapnya Ibu sendiri.

Accident Of My Imagination Praised By Her(REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang