Bab 3

1.3K 55 4
                                    

Terbangun dari tidur lelapnya malam itu, Indira tak bisa melupakan semua kejadian yang menimpanya. Ia merenungkan hari dimana ia berpisah dengan ayahnya, ciuman pertamanya dengan Stefano, Silver Blaze....

Semuanya begitu cepat berjalan bagaikan semilir angin. Kini, ia tidak bisa tidur mengingat semuanya. Alasan lainnya juga ia masih merasa bahagia atas kedatangannya ke London.

Indira membayangkan petualangannya besok. Setelah makan malam, Stefano berkata bahwa ia berjanji akan mengajaknya jalan-jalan mengelilingi kota ini. Lelaki itu menepati janjinya untuk tidak menyentuh Indira. Bahkan, sikapnya pun kembali dingin seperti sedia kala.

Dalam diamnya, Indira mengagumi rumah mewah milik lelaki itu. Terutama kamar yang di tempatinya sekarang. Ruangan bernuansa ungu putih itu sangat ia sukai. Pelayan Stefano yang mengantarkannya ke kamar itu saat mereka tiba di rumah. Saat itulah seharian ia tidak berpapasan dengan Stefano, dan menghabiskan waktunya untuk beristirahat. Menjelang senja, barulah Stefano mengajaknya makan malam.

Stefano mengetuk jarinya diatas meja eboni tempat ia menekuri kertas-kertas berkasnya. Malam sudah begitu larut dan ia belum bisa memejamkan matanya juga. Untuk menghilangkan kantuk, ia meminum segelas brendi.

Entah kenapa gadis itu berhasil membuatnya merasa menjadi laki-laki lagi. Karena urusan pekerjaan, Stefano jadi muak memikirkan perempuan. Betapapun cantiknya perempuan-perempuan yang mencoba mendekatinya, ia selalu berusaha menghindari mereka. Tidak sampai ia bertemu Indira. Gadis pribumi itu berbeda. Ada getaran lain ketika ia melihat gadis itu. Tak hanya cantik, ia menyadari Indira begitu cerdas. Dan hal itu yang selalu membuatnya terpesona.

Stefano mencoba memikirkan apa yang sedang dilakukan gadis itu. Lelaki itu bangkit lalu mengenakan mantel tidurnya. Ia berjalan keluar ruangan, menuju lantai dua, kesuatu kamar.

Pintu kamar terkunci. Namun Stefano bisa membukanya dengan kunci duplikat kalau mau. Ia ragu, memikirkan gadis itu yang mungkin sedang terlelap akan mengganggunya. Stefano berbalik, menjauh dari kamar Indira.

                                 ****

Kira-kira pukul sepuluh pagi, Indira telah siap dengan mantelnya. Rambut panjang hitam ikalnya sengaja ia sanggul, sehingga menampakkan lekukan lehernya. Seorang pelayan wanita masuk, lalu memberikannya sekotak topi. Indira berterima kasih. Matanya berbinar melihat topi-topi yang indah itu dan sudah pasti harganya mahal. Ia mengambil topi bundar merah yang dihiasi bulu2an dan mencobanya.

"Kau tampak cantik, Indira," sapa sebuah suara. Stefano berdiri di depan pintu, memerintahkan pelayan itu keluar.

"Kau berjanji tidak akan menyentuhku sekalipun, Stefano," lirik Indira tajam.

"Tentu, aku masih memegang janjiku itu." Stefano tersenyum. Stefano lalu menyodorkan lengannya untuk digamit oleh Indira.

"Kita akan berjalan kaki di siang yang indah ini, sesuai janjiku" katanya. "Tentunya akan lebih baik jika kita berjalan sambil bergandengan seperti kebanyakan orang lainnya."

Indira menggamit lengan Stefano. Ia tak ingin berdebat lagi.

"Bawalah aku sesuai janjimu," pinta Indira tegas.

"Tentu, nona cantik."

Stefano membopong tubuh Indira yang tertidur di sofa. Gadis itu kelelahan setelah Stefano mengajaknya berkenalan dengan kota London. Ia berjalan dengan sedikit kepayahan menuju kamar Indira. Setelah sampai di kamar, diletakkannya tubuh Indira dengan lembut di atas kasur. Stefano lalu membuka sepatu gadis itu, menyelimutinya, dan hendak beranjak pergi. Namun langkahnya terhenti, ketika melihat wajah Indira yang tertidur pulas. Stefano duduk di tepi ranjang, mengelus lembut pipi Indira. Ia mengingkari janjinya.

"Mimpikan aku pada mimpi indahmu, amore," ucapnya pelan.

Indira menggeliat sedikit, namun tetap tertidur pulas. Dengan hati-hati, Stefano meninggalkan kamar itu.

"Kita akan mengunjungi universitas tempatmu belajar nanti setelah ini," kata Stefano.

Keesokan harinya, keduanya tampak sedang sarapan bersama. Indira mengangguk, berusaha tetap tenang. Akhirnya ia akan kuliah juga.Stefano tak mengingkari janji lamanya.

"Apa aku bisa langsung belajar besok?" tanya Indira memastikan.

"Tentu. Tidak ada alasan untuk menundanya, sayang."

Dipanggil dengan kata sayang, membuat pipi Indira memerah. Ia tak pernah tau apa tujuan Stefano memanggilnya begitu.

"Secepat itukah prosesnya?" Indira bertanya, mencoba tidak menghiraukan kata-kata  Stefano barusan.

"Ya, ada masalah nona?" Stefano menyadari Indira menjadi salah tingkah dengan panggilannya barusan.

"Katakan padaku bagaimana kau bisa mengurus kuliahku secepat ini. Dari administrasi, dan semuanya," pinta Indira. Stefano tertawa kecil.

"Tidak akan sulit bagi anak dari pemilik Universitas itu sendiri," jawabnya tenang.

Indira terbelalak, namun tidak menunjukkan keterkejutannya. Ia baru sadar, ternyata Ayah Stefano lah pemilik Universitas tempatnya akan belajar nanti. Mengetahui fakta itu,Indira merasa sangat berhutang budi pada Stefano.

"Kau begitu baik Stefano. Aku akan berusaha membayar sendiri biaya nya," Indira menyilangkan garpunya. Ia sudah selesai makan.

"Biaya apa, Indira? Kita tidak pernah berbicara soal biaya-biaya sebelumnya. Kamu tidak masuk dalam urusan bisnisku," Stefano mengusap tangannya dengan sapu tangan yang sudah disediakan.

"Aku tak bisa menerima semua kebaikan mu ini secara percuma, Stefano. Sungguh. Apa yang ada dipikiranmu, membawa seorang gadis pribumi sepertiku, lalu mau menyekolahkanku jauh-jauh. Berikan aku alasannya," kata Indira lagi.

"Ikut denganku, Indira," Stefano kembali menyodorkan lengannya. Indira langsung menggamit lengan lelaki tersebut. Stefano mengajaknya ke taman. Berjalan di antara bunga-bunga yang mulai berguguran, Stefano mulai menjawab pertanyaannya tadi.

"Kau tidak harus membayar semuanya padaku, Indira. Sepeserpun, sungguh. Aku hanya menginginkan satu hal darimu, " langkah mereka terhenti. Stefano menghadap Indira, memegang pundak gadis itu.

"Tinggalah disini bersamaku, dan jadilah pelayan pribadiku," bisiknya lembut disertai seringai kecil yang menampakkan gigi taringnya yang menarik.

Indira menatap mata lelaki itu. Sorot matanya dipenuhi amarah dan keseriusan. Indira menggeleng, lalu di tepisnya tangan Stefano dari bahunya.

"Tidak, aku tidak dilahirkan untuk menjadi seorang pelayan, Stefano," desisnya. "Lebih baik aku segera pulang, dan kau sebaiknya berbicara pada ayah bahwa kau telah mengingkari janjimu!"

"Janji apa, Indira? Aku membawamu kesini dengan tujuan menyekolahkanmu, dan berjanji menjagamu. Lalu ayahmu menyetujuinya,"

"Kau tidak pernah berkata untuk menjadikanku pelayan pribadimu,"desis Indira penuh amarah. Matanya melengkung ke atas dengan sorot mata kucing liar yang sedang mengamuk.

"Indiraku yang cantik dan keras kepala, karena kau telah berada disini dan mau mengikutiku sejak awal, kau harus menuruti semua perintahku," Stefano berjalan mendekatinya. Indira berusaha menjauh, namun sadar ia sudah terpojokkan di sudut taman.

Perlahan, Stefano mendekatkan wajahnya pada gadis itu. Indira tak bisa bergerak kemanapun, mengingat tubuhnya lebih mungil dari tubuh gagah Stefano.

"Katakan kau bersedia menjadi pelayan pribadiku, sayang," suara Stefano terdengar lirih. Indira bertatapan langsung dengan mata biru indah sang lelaki. Dalam jarak sedekat ini, Indira bisa merasakan wangi khas dari Stefano. Campuran tuscan wood, tembakau, asinnya laut, dan wangi maskulin dari lelaki ini yang begitu khas. Semua itu membuatnya melayang dan bergairah. Ia begitu menginginkan tubuh itu memeluknya, lalu menyatu bersamanya.

"Lepaskan aku, Stefano!" pekik Indira, ketika Stefano mengecup ceruk lehernya. Stefano mengendurkan himpitan tubuhnya. Dengan segenap kekuatannya, Indira mendorong tubuh lelaki itu, lalu berlari meninggalkannya.

***

Accident Of My Imagination Praised By Her(REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang