10.00 pm
Dua orang anak kecil menyusuri gelapnya malam. Kaki-kaki kecil mereka sesekali menginjak genangan air sehingga menyebabkan percikan. Dengan kepala tertunduk kedua anak berpakaian serba hitam tidak sedikitpun berniat berhenti.
Walau kaki mereka terasa lelah, sebuah tekad yang kuat untuk segera keluar dari kota tempat mereka dilahirkan sangat besar.
Tetapi perjalanan untuk bisa sampai ke perbatasan kota cukup jauh terutama untuk anak kecil seperti mereka dan mereka terlalu takut untuk naik kendaraan umum. Mereka tidak ingin mengambil resiko terlihat di cctv.
Karenanya, setidaknya mereka butuh berjalan lebih jauh lagi jika ingin naik kendaraan umum, atau setidaknya ketika mereka sampai di jalan yang ramai, agar mereka bisa membaur.
Sudah sekitar dua jam kedua anak itu berjalan, dan akhirnya, mereka sampai di jalan raya. Hari itu hari sabtu, jadi jalan raya itu pun masih ramai.
Lisa dan Junhoe duduk kelelahan di halte bus, sambil mempelajari peta rute bus. Tadinya mereka memutuskan untuk pergi ke rumah nenek mereka, tapi kemudian mereka merubah semua rencananya. Tidak ada jaminan kalau si penganiaya itu tidak mengetahui keberadaan dua anak keluarga Koo bukan dan bisa dipastikan jika mereka mengetahuinya, mereka akan mencari keduanya di rumah saudara mereka.
Karena pemikiran itu, keduanya kini memutuskan untuk pindah keluar kota, dan disinilah mereka menunggu bus yang mengantarkan mereka ke kota sebelah.
11.30 pm
Lisa dan Junhoe sudah duduk manis di sebuah bus antar kota. Mereka berusaha menyamankan diri sambil masih terus menunduk, berharap cctv tidak mampu menangkap wajah mereka.
Junhoe meremat tangan mungil kakak kembarnya, ketika disadari adanya seorang pria yang berpakaian seperti pastor memperhatikan mereka bahkan sebelum mereka naik.
Lisa menyadari rematan di tangannya kemudian memandang Junhoe yang juga memandangnya, berusaha bertukar pesan melalui pandangan mata. Mereka tidak bisa telepati, tetapi sebagai kembar mereka bisa mengerti satu sama lain tanpa harus berbicara.
Karenanya, tanpa kesulitan, Lisa perlahan menolehkan kepalanya ke arah orang yang dimaksud oleh Junhoe dan menangkapnya memperhatikan dirinya serta Junhoe.
Kedua anak kecil itu sekarang gemetaran, secerdas apapun mereka, keduanya baru berusia 6 tahun, jadi tidak heran kini mereka hanya bisa menatap takut ke pria itu yang sialnya berjalan mendekat.
"Kalian tersesat? atau kabur dari rumah?" tanya si pria dengan suara rendah kepada si kembar yang kini semakin mengeratkan pegangan tangan mereka tetapi tetap berusaha berani untuk menatap mata tajam si pria dengan tatapan polos mereka.
"Tidak usah takut, namaku Thomas Lee, kalian bisa memanggilku Father Thomas. Aku kepala sebuah panti asuhan dan aku sering melihat anak-anak seperti kalian, yang berusaha kabur dari rumah karena berbagai macam hal.
Aku tidak akan bertanya banyak, tapi jika kalian tidak tahu dimana kalian akan tidur malam nanti, datanglah ke panti asuhanku, kalian akan menyukainya," ujar pria tersebut dengan ramah dan memberikan sebuah brosur yang berisikan sejarah, visi, misi, denah bahkan beberapa foto anak-anak yang sedang bermain dan belajar.
Pastinya, panti asuhan yang bernama Luna Orphanage itu terlihat seperti tempat yang menyenangkan. Dilihat dari foto anak-anak yang tercetak di brosur.
"Kami akan memikirkannya tuan," cicit Junhoe, berharap si pria meninggalkan mereka dengan cepat.
07.15 am
Junhoe dan Lisa meregangkan kaki dan tangan mereka begitu mereka telah tiba di stasiun kota Crescent Luna, kota yang menjadi tujuan akhir mereka.
"Aku tidak menyangka kita bisa duduk diam selama delapan jam tanpa bergerak," keluh Junhoe yang merasa tubuhnya sakit semua.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Angels of Death - The Beginning
AcciónSeason 2 : The Angel of Death - Encounter Season 3 : The Angel of Death - Finale *** ⚠🔞 Warning : This story contains violence, indecent language and adult contains!! Please be wise 🔞⚠ Twins - Lalisa and Junhoe were a little ball of sunshine. Ever...