Namaku Kasih. Aku tinggal di sebuah desa terpencil bersama kedua orang tuaku. Mereka orang yang agamis dan penuh kasih sayang.
Aku lulus dari Sekolah Menengah Atas setahun yang lalu. Aku tak melanjutkkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, bukan aku tak mau, tapi kedua orang tuaku bukan orang yang mampu. Aku hanya membantu Bapak dan Ibu bertani di ladang, dan siang hingga sore hari aku mengajarkan anak-anak mengaji di Surau desa ini.
Bapak Ibuku Jawa tulen, dengan wajah bulat dan kulit sawo matang. Namun berbeda dengan diriku, wajahku lebih mirip orang timur tengah, mata belo dan hidung mancung. Mungkin saja kulitku pun akan seputih pualam kalau seandainya aku tidak pergi ke ladang setiap hari. Karena itu, kulitku Nampak kusam karena terpapar sinar matahari.
Sore ini sepulang aku dari surau, aku berjalan santai sambil menikmati pemandangan kanan kiri jalan yg sejauh mata memandang hanya ada ladang sayuran dan pesawahan. Di sepanjang jalan ditumbuhi bunga liar nan cantik. Aku ambil setangkai dan kuputar-putar. Cantiknya, akupun tersenyum bahagia.
Disaat aku tengah memandangi hamparan pesawahan, dari kejauhan nampak Ibuku melambaikan tangannya ke arahku. Beliau terlihat tergopoh-gopoh menghampiriku.
"Nduk, cepet pulang...Bapakmu ada sesuatu yang ingin disampaikan padamu." Aku tertegun sesaat. Tak biasanya Bapakku seperti itu.
"Iya Bu, tapi ada apa kok kaya yang serius amat?."
"Cepet saja Nduk, nanti biar Bapakmu yang jelaskan!." Katanya sambil menggandeng tanganku. Kamipun mempercepat langkah kami.
***
Terlihat Bapakku tengah duduk di ruang keluarga sambil memegang secangkir kopi pahit kesukaanya. Sebelah tangannya melambai kearahku, dengan tatapan teduhnya beliau memanggilku.
"Duduklah sini Nduk, ada yang mau Bapak sampaikan padamu." Akupun mendekat dan duduk di depannya. Terlihat beliau menyeruput kopinya lalu meletakkan kembali cangkirnya ke atas meja. Beliau menghembuskan nafasnya perlahan.
"Nduk, apa yang akan Bapak sampaikan ini sangat penting. Namun sebelum itu Bapak minta padamu, jangan merubah rasa di hatimu pada kami ya Nduk!." Beliau menatapku dengan penuh kasih. Sungguh aku tidak mengerti apa yang sedang beliau ucapkan.
"Nduk, tadi Pak Surya datang pada Bapak, beliau memintamu untuk dijadikan istri dari anaknya. Kau tau kan Dimas anaknya Pak Surya yang sedang kuliah di Jakarta?."
Bapak menghentikan ucapannya dan memandangku. Sejenak ingatanku menerawang, mengingat seseorang yang bernama Dimas, seorang anak yang manja, nakal dan sombong. Mungkin karena dia merasa orang tuanya terpandang dan kaya raya. Dia sering kali membuat ulah, lalu akhirnya Pak Surya mengirimnya ke Jakarta untuk kuliah.
"Nduk..." Panggilan Bapakku menyadarkanku dari lamunan.
"Eeh..iya Pak, lanjutkan saja Pak, Kasih denger kok Pak."
"Gini Nduk, walaupun Bapak tak tega mengatakan ini padamu, namun wajib Bapak menyampaikan ini padamu." Beliau terdiam sesaat, menunduk lalu kembali mengangkat wajahnya dan melihat kearahku.
"Bapak tidak bisa menjadi wali nikahmu Nduk, karena kamu bukan anak kandung kami. Dulu orang desa menemukanmu tergeletak di pinggiran sawah saat kamu masih bayi. Kami yang saat itu sangat mendambakan seorang anak lalu meminta pada Pak Lurah agar kami bisa merawatmu Nduk." Bagai disambar gledek aku mendengarnya, aku memandangi wajah Bapakku yang terlihat menghiba padaku dengan mata berkaca-kaca.
"Walaupun begitu, kami sangat menyayangimu Nduk. Kamu sudah kami anggap seperti anak kandung." Bapak terisak dan aku masih tidak bisa mengatakan sepatah katapun. Rasanya tidak percaya, ternyata aku adalah anak buangan yang mungkin saja anak hasil perbuatan haram.
Aku tertunduk, tak terasa butiran bening mulai meleleh di pipiku. Terasa belaian lembut dipucuk kepalaku. Aku mendongak, terlihat Ibu membelaiku dengan tatapan menghiba.
"Kami sebetulnya tidak tega untuk mengatakan ini padamu Nduk. Selama delapan belas tahun kami rahasiakan, namun kali ini kami harus mengatakannya karena apabila Bapakmu yang jadi wali, pernikahanmu tidak akan sah, Nduk."
"Betul Nduk, Bapak harap kamu mau menerima pinangan untuk menikah dengan anaknya Pak Surya ya Nduk. Beliau begitu memohon pada Bapak untuk menyampaikan ini padamu nduk. Nanti Pak Surya sendiripun akan menyampaikan hal ini padamu, sekaligus nanti kamu dan nak Dimas dipertemukan sebelum acara pernikahan."
Aku kembali menunduk, tak tahu apa yang harus aku katakana. Dalam waktu sekejap duniaku berubah baik itu statusku yang ternyata bukan anak kandung dan juga tawaran untuk menikah dengan orang yang sekilas aku tahu dia adalah seorang bergajulan.
"Entahlah Pak, Bolehkah kasih pikirkan dulu?." Hanya itu yang bisa keluar dari mulutku.
"Baiklah Nduk, Istikharahlah semoga Allah memberikan jalan yang terbaik." Aku mengangguk lalu beranjak pergi ke kamar.
Entahlah apa yang ada dalam pikiranku, rasanya aku ingin berteriak. Pertanyaan yang sempat terlintas dalam angan ternyata benar. Aku bukan anak kandung Bapak dan Ibu, pantas saja wajahku jauh berbeda dari mereka. Mungkinkah aku anak hasil perkosaan? Ataukah anak hasil perzinahan? Aku tak tahu jawabannya.
Lalu terlintas pula bayangan akan Dimas. Seseorang yang begitu arogan, senang berkelahi dan mabuk-mabukan. Rasanya berat sekali untuk menerima kehadirannya sebagai suamiku. Kupejamkan mataku dan suara adzan di surau menyadarkanku dari lamunan. Segera aku beranjak ke belakang untuk ambil wudhu.
KAMU SEDANG MEMBACA
ISTRI JADI PEMBANTU
RomanceMenceritakan tentang seorang gadis yang dipaksa menikah dengan seorang laki-laki jahat. Namun perjalanan hidupnya yang menyedihkan justru membawanya menuju kesuksesan. Cerita ini sudah terbit dengan novel.berjudul Kasih.