Part 11

6.9K 285 3
                                    

Sekitar jam satu siang kami meninggalkan cafe itu, karena takut Dimas keburu pulang. Walaupun memang jarang sekali Dimas ada di rumah pada saat siang hari. Tapi jika aku sudah ada di rumah sebelum dia datang akan lebih baik.

Ditengah perjalanan Sherly kembali meyakinkanku agar mau menerima tawaran dari Michi. Jujur aku masih belum tau jawabannya. Biarkanlah garis hidup yang akan membawa nasibku ke depannya menjadi apa dan bagaimana.

Saat melewati sebuah pusat perbelanjaan, mata Sherly langsung berbinar ketika melihat sebuah butik di sebelahnya.

"Kasih, kita mampir dulu ke sini yuk! Mumpung sekalian lewat. Ini tuh butik favorit aku dari dulu. Aku mau nyari atasan buat acara minggu depan," ungkapnya. Aku hanya menurut saja.

Akhirnya kami pun singgah di tempat yang pasti membuat mata kaum hawa tak bisa berkedip. Baju-baju indah berjejer dengan rapi. Selain baju ada juga tas dan sepatu.

Aku mengikuti ke manapun Sherly melangkah. Tangannya tak henti menyentuh deretan baju yang menggantung. Dia ambil beberapa tapi sepertinya masih belum puas juga. Wanita berperawakan tinggi ini masih saja celingak celinguk memilih dari satu deret ke deretan lainnya.

Sampai di deretan baju-baju muslim, dia terpukau melihat baju yang dipajang di sebuah patung manekuin.

"Wow, Kasih, lihat deh tuniknya lucu banget. Kamu pasti keren kalau pakai baju ini. Lihat serasi banget sama celana jegging dan jilbabnya juga," katanya dengan mata berbinar.

"Mbak-mbak, tolong ambilkan baju yang ini ya!" pintanya pada seorang gadis penjaga toko.
Gadis itu pun mengangguk dan mengambilkannya.

"Ayo Kasih kita coba dulu baju-baju ini!" ajaknya padaku. Kemudian kami pun menuju kamar pas yang berderet dengan cermin yang terpajang hampir menutup dinding.

Aku masuki salah satunya, dan Sherly pun masuk ke kamar pas yang sebelah. Setelah selesai kupakai. Kulihat kembali pantulan diriku di cermin. Aku merasa sungguh terpukau. Baju yang indah dengan jilbab dan celana warna senada. Warna hijau muda yang lembut.

"Kasih, udah belum? Aku mau lihat!" terdengar panggilan Sherly dari luar kamar pas.

"Iya Mbak, sebentar,"

Setelah selesai memakai jilbab akupun membuka pintu kamar pas, lalu terdengar pekikan Sherly di hadapanku.

"Kasih suuweerr kamu cocok banget pake baju itu!" katanya dengan nada suara yang lebay sambil mengangkat jempolnya.

"Ayo kita bungkus aja langsung, udah mau sore nih! Takut Dimas keburu pulang." Sambungnya lagi.

"Tapi Mbak, kulihat harganya mahal banget. Ga usah deh Mbak, saya gak punya uang sebanyak itu," ucapku ragu-ragu.

"Apaan sih Kasih, ini aku niat beliin buat kamu. Ayo cepat buka lagi, biar kubayar dulu!" katanya sambil mendorongku untuk masuk kembali ke kamar pas.

"Waduh Mbak, saya jadi gak enak ngerepotin Mbak Sherly ter...." Sebelum aku selesai bicara Sherly sudah menutup pintunya.

Setelah keluar dari butik itu, aku ucapkan banyak terimakasih padanya.

Untuk ajakannya bertemu dengan teman-temannya. Untuk baju yang telah ia pinjamkan dan belikan untukku. Terlebih lagi untuk sikap baiknya padaku.

***

Sesaat setelah kami menginjakan kaki di pintu garasi, terdengar adzan Ashar berkumandang. Garasi masih kosong, itu artinya Dimas belum pulang. Akupun menarik nafas lega.

Aku melangkah menuju kamar dan segera menunaikan kewajiban.

Selesai salat aku segera menyiapkan hidangan untuk makan malam. Selama aku di sini, seringkali Sherly mengajariku memasak. Berbekal hp saja dia bisa membuat aneka ragam masakan.

Kamu mau masak apa? Tinggal lihat aja tutorialnya di youtube, begitu katanya. Tekhnologi memang makin canggih, mau apapun tinggal klik saja.

Jam delapan malam Dimas baru kembali. Disambut oleh Sherly yang tengah asyik nonton acara TV.

Dimas masuk ke kamarnya, tak lama kemudian keluar dengan wajah segar dan sudah berganti pakaian. Terdengar ajakan Sherly untuk makan malam. Dimaspun mengangguk.

"Aku emang laper banget," ungkapnya. Kemudian menuju meja makan. Aku segera masuk kamar agar Dimas tidak merasa terganggu dengan kehadiranku.

Di ruang makan yang berada di dapur yang luas itu terdengar denting sendok dan garpu bersentuhan dengan piring.

Tak lama terdengar Sherly memulai percakapan diantara mereka.

"Mas, kalo sodara kamu kuajakin belajar jadi model boleh gak?" tanya Sherly.

"Sodara gue yang mana?" Terdengar jawaban dari Dimas ddngan nada yang masih datar.

"Kok nanya yang mana sih! Ya si Kasih lah," ungkap sherly.

Terdengar suara sendok dan garpu yang dibanting. Akupun terlonjak kaget.

"Apa maksud kamu ngajak-ngajak dia segala? Dia itu kesini buat jadi pembantu, bukan untuk jadi model." Terdengar nada suara Dimas yang meninggi.

Jantungku rasanya mau copot karena berdebar terlalu cepat. Aku hanya diam sambil mengatur nafas. Aku takut kalau Dimas marah pada Sherly hanya karena ingin mengajakku jadi model.

Jujur tidak ada sedikitpun keinginan dalam hati ini untuk mengikuti ajakan temannya Sherly itu. Aku orang baru di sini. Niatku ke sini hanya untuk mengikuti ke manapun suamiku berada, bukan untuk jadi model. Walau sikap Dimas yang setiap hari begitu menyakitkan namun aku yakin suatu saat nanti dia akan berubah.

Bukankah kerasnya batu akan kalah dengan lembutnya air seiring berjalannya waktu!.

"Mas, kamu itu kok jahat banget sih sama sodara sendiri. Biarkan dia maju mas. Siapa tau dia emang berbakat jadi model. Tak harus jadi model yang berpakaian seksi, sekarang ini banyak banget yang butuh model untuk pakaian muslimah." Terdengar Sherly menyanggah pada Dimas.

"Gak usah, dia cukup jadi pembantu di rumah ini saja!"

Terdengar suara orang yang menggeser kursi dan langkah kaki. Lalu suasana hening. Mungkin Dimas telah meninggalkan Sherly di meja makan.

Tak terasa bibir ini bergetar, butiran bening kembali keluar tanpa permisi. Aku sedih. Ya aku sedih. Tapi bukan karena dia tidak mengijinkan aku jadi model, tapi karena posisiku di hatinya yang belum berubah.

Hanya seorang pembantu.

ISTRI JADI PEMBANTUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang