Part 4

7.4K 273 4
                                    

"Besok kita langsung pindah ke Jakarta. Aku tidak mau tua bangka itu grecokin kehidupanku," ucapnya sambil beranjak ke peraduan.

"Ini kamu tidur saja dibawah! kamu sudah biasa kan tidur di tikar?"
Dia lemparkan sebuah bantal tepat mengenai punggungku.

Sabar Kasih, bisikku dalam hati. Tak perlu kau ladeni manusia macam itu. Tak kuhiraukan keberadaannya, aku ambil baju ganti dan handuk. Kubersihkan diriku di kamar mandi. 

Suara adzan membangunkanku, ternyata aku ketiduran dengan beralaskan sajadah dan masih memakai mukena. Pantas saja aku merasa hangat walaupun tidur di lantai.

Kulihat laki-laki yang kini telah sah menjadi suamiku masih tertidur pulas dengan dengkuran lembut. Haruskah kubangunkan dia? Ah mungkin nanti malah jadi menambah masalahku dengan kemarahannya.

Kutinggalkan saja dia dan beranjak ke kamar mandi untuk wudhu, dilanjutkan dengan salat subuh. Selesai salat, kuambil mushaf dan membacanya dengan agak nyaring.

Dia terjaga, namun bukannya bangun untuk salat, dia malah menutupi seluruh badannya dengan selimut.

"Berisik tau... Pagi-pagi sudah bikin ribut. Sana ngajinya diluar!."

Astagfirullah, terbuat dari apa hatinya orang ini. Kuhentikan dulu mengajiku, "Mas, ini udah siang, kamu gak salat?."  Bukannya bangun dia malah menwlungkupkan badannya.

"Kamu gak usah ikut campur, urusi saja urusanmu sendiri." Aku hanya bisa mengelus dada. Sabar, inilah ujianmu Kasih.

"Kamu siap-siaplah kemasi semua barang yang harus kau bawa, nanti sore kita langsung berangkat ke Jakarta. Aku sudah tak betah disini." Ucapnya lagi.

Baiklah kuturuti saja perintahnya. Kututup mushaf dan membuka mukenaku. Kubereskan semua barang yang harus kubawa. Tak banyak, karena memang barangku tak banyak. Selesai berkemas aku beranjak ke dapur. Lebih baik membantu Mbok Jum bikin sarapan daripada menyaksikan manusia arogan macam dia.

Kulihat Mbok Jum sedang merajang bawang dan sayuran lainnya untuk bikin nasi goreng, sementara Bu Surya duduk di meja makan sambil menikmati segelas susu hangat dan roti panggang. Makanan yang jarang sekali ada di rumah orang tuaku.
Diletakannya gelas ditangan.

"Selamat pagi Nak, gimana tidurnya semalam, nyenyak?, sini sarapan sama Ibu"

Sebelah tangannya melambai lalu menepuk kursi disebelahnya tanda menyuruhku duduk di sana.

"Alhamdulillah nyenyak Bu," aku tersenyum ke arahnya.

"Gimana sikap Dimas semalam padamu?."
Tanyanya sambil tersenyum menggoda. Aku hanya tertawa kecil membalas gurauannya.

"Baik Bu." Tak mungkin rasanya aku mengatakan hal yang sebenarnya tentang semalam aku tidur di lantai. Bagaimanapun buruknya dia tetap adalah suamiku.

Obrolan kami terhenti karena deheman orang arogan itu.

"Pagi Bu," dengan masih memakai kaos oblong dan celana selutut dia menghampiri kami dan duduk di depanku. Aku yakin dia belum tersentuh air, kulihat muka dan rambutnya masih awut-awutan. Heran rasanya ada orang seperti ini. Tak sadar ternyata dari tadi aku memperhatikannya.

"Apa lo liat-liat?, baru pertama ya lihat orang ganteng?." Astaga malu rasanya di depan Ibu aku dituduh seperti itu.

"Dimas, kamu itu ya. Masa begitu sama istrimu sendiri. Ck...ck. Bukannya dipeluk, dicium, ini malah diajak betengkar. Hmm, sabar ya Nak Kasih, Dimas itu sebenernya baik cuman kadang emang suka nyebelin." Aku hanya tersenyum mendengar kata-kata Ibu.

Mungkinkah perkataan ibu itu benar, kalau Dimas itu orang yang baik? hmm rasanya mustahil bagiku.

"Bu, nanti sore aku mau balik ke Jakarta ya. Aku kan harus kuliah. Gak mungkin aku bolos terus. Sebentar lagi kan aku mengajukan proposal untuk pengajuan judul skripsiku." 

Wah, ternyata pintar sekali nih orang cari alasan untuk segera pergi dari rumah ini. Jelas-jelas tadi dia bilang padaku kalau dia males digrecokin sama peraturan orang tuanya.

"Jangan lupa ya Bu, jatah bulananku ditambah dua kali lipat. Kasih kan harus aku kasih makan, kebutuhanku pasti meningkat." Katanya sambil mengedipkan mata pada ibunya.

"Iya, nanti Ibu sampaikan pada Bapakmu. Ingat lho ya, setelah lulus kuliah kamu harus cari kerja untuk ngasih makan anak istrimu nanti."

Kulihat Dimas menutar matanya sambil berdecak malas. Mungkin merasa aneh jika harus terbebani dengan yang namanya anak istri. Orang macam apa ini? Ya tuhan. Mungkin aku harus nambah stok sabarku yang mungkin sebentar lagi habis.

ISTRI JADI PEMBANTUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang