Part 12

7K 324 8
                                    

(Sesuai banyaknya pendapat kalau Sherly lebih baik panggil nama aja sama Dimas, jadi mulai Part ini Sherly hanya panggil Dimas, bukan Mas lagi. Kadang dicampur dengan panggilan sayang ya. Awas gak usah baper. 😄 Part lain, menyusul saya edit.)
====================================

Semenjak kejadian malam itu, tak pernah terdengar lagi Sherly membicarakan mengenai tawaran Michi. Dia tau bagaimana perangai Dimas, apapun harus sesuai keinginannya. Sepertinya dia enggan untuk bertengkar dengan Dimas.

Namun diam-diam, jika Dimas tidak ada Sherly suka mengajakku ke salon untuk perawatan.
Memberikanku baju-bajunya yang masih layak bahkan kadang memberikanku baju baru seperti waktu itu.

Sherly bilang, dia ingin buktikan pada Dimas kalau aku memang punya potensi untuk jadi model. Dia ingin mematahkan pendapat Dimas bahwa aku hanya layak jadi pembantu.

Aku tidak bisa menolak keinginan Sherly, namun juga tidak berani melawan pada Dimas. Aku ambil jalan tengah, hanya menuruti keinginan mereka.

Hari demi hari kulitku semakin terlihat halus dan cerah. Rambutku pun semakin berkilau. Setiap kali habis perawatan seperti biasa Sherly suka lebay memujiku.

"Kamu itu cantik Kasih, gak pantes jadi pembantu. Kok ada ya sodara jahat macem sodaramu itu, gak ingin melihat sodaranya sukses." ujarnya waktu itu. Aku hanya menjawabnya, kalau aku tidak apa-apa tidak jadi model juga.

Tapi tetap Sherly bersikukuh ingin membuatku menjadi seorang model. Hanya menunggu waktu saja katanya.

Pernah suatu ketika sehabis mandi aku keluar kamar mandi tanpa menggunakan jilbabku. Kusangka Sherly dan Dimas sudah pergi. Aku kaget ternyata saat melewati dapur ada Dimas yang sedang ambil minum.

Aku tersentak melihatnya, dan diapun kaget melihatku yang tanpa pakai hijab. Sekilas kulihat dia sempat melongo memandangku tak berkedip. Aku segera berlalu ke kamarku, dan sesaat saat aku mau menutup pintu sempat kulihat Dimas kemudian tergesa menghabiskan minumnya dan pergi.

Seulas senyum sempat tersungging di bibirku. Rasanya pipiku memanas. Kalau aku bisa melihatnya sepertinya pipiku merona merah. Perasaan macam apa ini?

****

Hari ini seperti biasa pagi-pagi aku berkutat dengan segala macam di dapur. Sherly sedang asyik membaca novel di ruang tengah sementara musik mengalun dari telepon genggamnya.

Tak lama kulihat Dimas keluar dari kamarnya lalu duduk di sebelah Sherly. Mereka bercengkrama sambil diselingi ketawa renyah.

Lalu aku mulai mendengar pembicaraan Sherly mulai melibatkan namaku.

"Beb, Sabtu sekarang aku ada acara di puncak. Jenny ultah. Kamu ikut ya. Kasih juga mau aku ajakin. Kasian kan kalo dia sendirian di rumah," ungkapnya.

"Kenapa harus mengajak dia sih?" dengkus Dimas.

"Kasianlah dia sayang, harus di rumah sendiri. Kalau kamu gak suka, anggaplah dia jadi asistenku yang bisa membantuku di sana. Gimana?"

"Ya sudahlah, terserah kamu aja!" terdengar jawaban Dimas dengan nada datar.

Sabtu pagi Sherly sudah mengingatkan agar aku bersiap untuk pergi menemaninya ke puncak nanti siang. Dia mengingatkan tentang apa saja yang harus kubawa. Kuturuti saja semua perintahnya.

Siang menjelang sore sekitar pukul dua, Sherly mengajak untuk segera berangkat. Acanya sendiri akan dimulai sekitar jam delapan katanya, tapi demi antisipasi macet dan agar bisa santai dulu disana jadi kami berangkangkat lebih awal.

Dimas yang mengemudi, Sherly duduk di depan dengan Dimas sementara aku duduk di deretan tengah sendirian. 

Karena jalan padat dan macet kami sampai di villa itu hampir menjelang magrib.

Kulihat ada beberapa orang yang sudah datang dan sedang duduk santai menikmati minuman hangat. Terlihat asap mengebul dari cangkirnya. Sherly dan Dimas menyapa mereka.

Ternyata orang-orang yang dulu Sherly temui di cafe ada semua. Grace, Olivia, Michi dan juga Ryandra. Mereka terlihat cipika cipiki dengan Sherly, kemudian salaman dengan Dimas juga aku.

Michi nampak agak heboh melihat perubahanku. "Kasih, kamu makin kece badai deh. Udah cocok pokoknya masuk agency gue."
Terlihat kening Dimas mengkerut heran lalu melirik ke arah Sherly kemudian padaku. Aku pura-pura tak melihatnya.

Saat Ryandra akan menjulurkan tangannya, kembali aku menangkupkan tanganku di dada, dia terlihat kikuk. Akupun sama.

"Hai Kasih apakabar?" sapanya.

"Ba-baik Mas," jawabku ragu.

Dimas makin heran mendengarnya.

"Lho, kalian sudah kenal?" tanyanya bingung. Terlihat raut muka yang tidak suka. Sorot matanya menatapku tajam.

"Waktu itu kita sempet ketemu, cewek lu yang bawa,"  sambar Michi dengan polosnya.

Kuyakin Dimas menahan emosinya karena malu di depan teman-temannya Sherly. Entah apa yang akan terjadi kalau kami sudah sampai di rumah nanti.  Huft, semoga saja Dimas nanti lupa.

****

Jam sudah menunjukan hampir pukul delapan. Diluar sudah terdengar keramaian orang-orang berkumpul.

Setelah berdandan tipis, aku keluar dengan mengenakan tunik dan jilbab yang pernah dibelikan oleh Sherly. Walau masih belum dibilang pandai, namun aku sudah mulai terbiasa dengan kuas-kuas seperti yang sering diajarkan oleh Sherly.

Ya, untuk make-up sederhana seperti ini aku sudah mulai bisa.

Kulangkahkan kaki menuju pintu. Saat aku keluar dan akan menutup pintu ternyata bertepatan Dimas juga keluar dari kamar. Aku menoleh ke arahnya saat itu  Dimaspun menoleh ke arahku. Waktu terasa berhenti sesaat. Aku lihat manik mata tajam itu melihatku dengan terpukau.

Ada sejuta rasa yang bergejolak di dalam dada. Entah rasa apa itu namanya. Kami terdiam tanpa kata. Hingga kehadiran Sherly menyadarkan kami.

"Wah, wah Kasih kamu cantik banget!" pekiknya.

"Ayo, kita ke sana. Acaranya udah mau dimulai kayanya."  Ajak Sherly kemudian menggandeng suamiku dengan mesra.

Ada rasa yang entah apa itu namanya. Tapi aku mulai merasa ada sesuatu yang menikam dada ini setiap kali melihat kemesraan mereka.

Di halaman sudah terlihat banyak orang berkumpul. Tenda-tenda dengan kursi dan stand makanan sudah siap berjejer.  Hidangan makanan aneka rupa sudah tersedia di sana. Aneka cemilan hingga hidangan utama.

Udara yang dingin membuatku tergoda dengan minuman hangat. Kusambangi stand yang menyediakan bandrek, wedang jahe dan kacang rebus.  Kuambil satu cup. Saat kunikmati kehangatan bandrek, terdengar sapaan dari samping kiriku.

"Sendirian aja Kasih? Kemana Sherly dan Dimas?" Tanyanya sambil kemudian diapun mengambil minuman yang sama denganku.

"Iya Mas Ryan, Mbak Sherly dan Mas Dimas tadi ke arah sana." jawabku.

"Kita ngobrol di sana yuk!" ajaknya sambil menunjuk ke arah kursi di bawah pohon mangga. Kuikuti ajakannya. Kami duduk berdua, diantara orang yang berlalu lalang.

Belum banyak yang kami obrolkan. Dia hanya menanyakan kapan aku mulai tinggal di jakarta. Sekolahku dulu di mana dan juga hobiku. 

Udara dingin membuatku tak nyaman, kulingkarkan tanganku seolah memeluk diriku sendiri. Sesekali kugosokan tanganku agar menjadi hangat.

"Kamu gak bawa jaket?" tanyanya.

"Ada di kamar sih Mas, aku tadi lupa pakai."

Tanpa kusadari Ryandra membuka jaket yang dipakainya kemudian menyampirkannya dibahuku.

"Gak usah Mas, Mas Ryan juga pasti kedinginan. Saya gak pa-pa kok Mas."  Kubuka kembali jaketnya dan kuserahkan lagi padanya.
"Gak pa-pa Kasih, pake aja. Aku udah mulai hangat kok abis minum bandrek tadi," ungkapnya dan kembali menyampirkan jaketnya di pundakku.

Tiba-tiba sebuah tangan menarik lenganku dengan kasar. Kumenoleh, tatapan mata itu terlihat nyalang penuh emosi.

"Ayo pergi dari sini!" 

Jangan lupa vote ya

ISTRI JADI PEMBANTUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang