Part 6

7K 263 1
                                    

Gadis itu menghampiriku, lalu mengulurkan tangannya.

"Hai, aku Sherly pacarnya Dimas. Namamu siapa?" Tanyanya dengan senyum yang ramah.

Aku yakin dia orang yang baik, tapi kenapa bisa mau sama Dimas ya? tanyaku dalam hati.

"Nama saya Kasih,  Mbak Sherly. Saya...mmh," ragu hatiku mau mengatakannya. Jika aku katakan bahwa aku adalah pembantu mereka jelas aku berbohong. Namun jika aku katakan yang sebenarnya aku yakin Dimas pasti marah.
Kulirik ke arah Dimas, terlihat dia sedikit melotot, mungkun dia takut aku mengatakan yang sebenarnya.

"Mmh... dia yang tadi aku ceritakan akan membantu kita," timpasnya buru-buru.  Aku hanya mengangguk saja. Biar saja dia yang berbohong bukan aku.

"Oh iya, ayo masuk. Nanti aku tunjukan kamar buat kamu ya." Tangannya melambai mengajakku masuk.

"Mas kasih kamar yang sebelahan sama kamar kita aja ya?" tanya Sherly pada Dimas.

"Halaah gak usahlah, suruh di kamar belakang aja biar deket dapur. Orang cuman pembantu kok. Kamar sebelah kan suka dipake temen-temenku kalo lagi kumpul,"  jawab Dimas dengan sinisnya.

Sungguh ada rasa pedih menjalar dalam dadaku tapi aku tidak bisa apa-apa dengan perlakuannya. Terlebih lagi aku tau kenyataan bahwa mereka tidur dalam satu kamar yang sama.

"Mas, dia kan masih saudaramu. Jahat banget kamu Mas," terlihat Sherly kurang setuju kalau aku tinggal di kamar pembantu. Namun Dimas malah berdecak sebal.

"Halaah gak usah dikasih hati lah," ucap Dimas. Kulihat Sherly mengerling sebal pada Dimas. Lalu dia kembali menghampiriku.

"Kasih, kamu gak apa-apa kalo tidur di kamar belakang?" tanyanya ragu.

"Iya Mbak gak apa-apa, bisa tinggal di sini aja saya udah seneng." Jawabku sambil tersenyum ke arahnya.

"Ya udah yuk kita masuk," ajak Sherly sambil menggamit sebelah tanganku sedangkan tanganku yang lain membawa tas yang berisikan baju-bajuku.

Saat Dimas membuka pintu dan diikuti olehku dan Sherly di belakangnya, aku bisa melihat suasana rumahnya serba minimalis modern sekali. Di ruang tamu terlihat sofa berwarna coklat tua dengan bantal-bantal yang terlihat empuk sekali.

Melewati ruang keluarga yang cukup luas di mana ada TV LED yang cukup besar dengan speaker di kanan kirinya, terlihat seperti home teater. Mungkin memang iya.

Di sebelah kanan ruang keluarga terlihat dua pintu kamar, mungkin salah satunya adalah kamar suamiku bersama pacarnya.

" Smentara kamarmu di sana ya Kasih, sampai aku bisa membujuk Mas Dimas biar kamu bisa tidur dikamar sebelahku," katanya sambil mengerling nakal ke arahku. Sherly menunjukan letak kamarku. Disebelah kiri dapur di bagian belakang. Kuhanya mengangguk

"Kamu langsung ke kamarmu aja ya, aku mau ke toilet dulu nih udah kebelet," bisiknya di telingaku. Kulihat dia berlari ke kamar yang paling depan.

Di dapur kulihat Dimas sedang mengambil air minum di kulkas. Kumelirik ke arahnya, dan ternyata diapun melirik ke arahku. Canggung, aku langsung menunduk dan kulihat diapun membuang muka.

Kupercepat langkahku menuju kamar, biar Dimas tidak bisa melihat wajahku yang bersemu merah. Lalu kututup pintu dan menguncinya. Kenapa jadi canggung begini?

Mungkin begitulah orang yang tidak  saling kenal dipaksa menikah, lalu diberi posisi seperti kami ini. Hanya majikan dan pembantu.
Setelah berada di kamar, kulihat kamar ini jauh lebih bagus dari kamarku di dulu. Ada sebuah spring bed berukuran sedang dan sebuah lemari yang cukup besar. Bahkan terlalu besarbuntuk menyimpan semua baju-bajuku. kuletakan tas di samping lemari. Kuhempaskan diriku di kasur yang bagiku sangat empuk.

Kupandangi langit-langit kamar dengan pikiran menerawang ke tempat tinggalku dulu. Aku kangen sama Ibu dan Bapak. Walaupun mereka bukan orang tua kandungku tapi mereka begitu baik padaku. Berbanding terbalik dengan suamiku, yang seharusnya menjaga dan bertanggung jawab akan dunia dan akhiratku, tapi hanya menganggapku sebagai pembantu.

Tak terasa aku terlelap karena lelah di perjalanan. Sayup-sayup kudengar adzan berkumandang dari mesjid yang tak jauh dari rumah ini.

Segera kuberanjak untuk mengambil wudhu. Untuk ke kamar mandi aku harus ke luar kamar. Kamar mandinya terletak agak ke belakang bersebelahan dengan tempat mencuci pakaian.

Kulangkahkan kaki ke luar kamar, kulirik ke ruangan keluarga masih gelap. Mungkin mereka masih terlelap. Ingin kubangunkan mereka namun tak berani.

Aku sekalian mandi karena badanku rasanya lengket karena gerah di perjalanan. Mungkin karena cape jadi aku terlelap semalam.

Setelah mandi rasanya badan ini segar sekali. Segera aku salat subuh dilanjutkan mengaji. Dalam do'aku kusebut namanya. Wahai dzat yang maha membolak balikkan hati, lembutkanlah hati suamiku yang sekeras batu karang. Berilah dia petunjuk sebagaimana Engkau memberi petunjuk pada orang-orang yang saleh.

Selesai salat dan ngaji, kulihat jam menunjukan jam 06:15 Diluar masih belum terdengar suara apapun, mungkin mereka masih tidur.

Aku keluar kamar dan menuju dapur. Aku cukup tau diri, yang punya rumah ini menganggapku sebagai seorang pembantu, jadi aku harus menyiapkan sarapan untuk mereka. Oh, jangan niatkan seperti itu Kasih. Niatkanlah kau siapkan sarapan untuk suamimu. Aku tersenyum getir, butiran bening itu kompak sekali dengan perasaan di hati, aku tak bisa menahannya. Miris sekali suamiku, dia memiliki aku yang halal namun dia memilih yang haram.

ISTRI JADI PEMBANTUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang