Part 7

6.9K 276 2
                                    

Beres menyiapkan sarapan, aku menatanya di meja. Hanya nasi goreng sederhana. Kulirik jam di dinding sudah menunjukan pukul tujuh pagi.

Tak lama terdengar knop pintu diputar dari arah kamar depan. Ternyata Sherly yang keluar. Terlihat wajahnya masih kusut, mungkin belum sempat ke kamar mandi untuk cuci muka dulu.

Kusunggingkan senyum ke arahnya. Diapun balik tersenyum ke arahku.

"Pagi Kasih, bikin apa kamu ko wangi amat?" tanyanya.

"Rajin banget kamu jam segini udah bikin sarapan. Aku malah masih males. Kalo gak inget ada jadwal kuliah pagi, rasanya masih pengen berselimut di kasur. Hooaamm..."

Dia malah menguap dan menarik kursi makan lalu duduk dan menelungkupkan mukanya di meja.

"Mandi aja dulu Mbak Sherly, biar ilang ngantuknya lalu sarapan. Nanti telat lho Mbak," saranku padanya. Diapun mulai menggeliat dan kembali ke kamarnya.

Setengah jam berselang Sherly kembali ke ruang makan dalam keadaan sudah cantik dan rapih. Ya, dia begitu cantik terawat. Rambutnya yang panjang bergelombang diujungnya dan dicat warna coklat muda. Kulitnya kuning langsat mulus terawat. Dari logatnya sih sepertinya Sherly berasal dari tanah pasundan. Baju yang dipakai
nya sangat stylish. Pantas saja Dimas mencintainya dan tak malu memperkenalkan pada siapapun kalo Sherly kekasihnya.

Berbanding terbalik dengan aku. Kulit kusam tak pernah perawatan. Baju dan jilbab lusuh yang selalu menghiasi tubuh ini. Tak heran Dimas malu dengan keadaanku.

"Kasih, kok kamu ngelamun sih? ayo sini temenin aku sarapan! Gak usah nungguin  Dimas, dia mah jadwal kuliahnya juga nanti siang."  Aku langsung tersadar dari lamunan.

"E-eh iya mbak, silahkan sarapan. Saya nanti aja makan di dapur," tolakku padanya.

"Oh no...no! Kamu sini sarapan bareng aku," katanya sambil beranjak dan menarik tanganku dan menyuruhku duduk di depannya.

"Nah gitu dong, jadi kan kita bisa ngobrol.males kan kalo makan sendirian," katanya sambil tersenyum. Aku hanya menyunggingkan senyum.

"Kasih, kamu jangan ambil hati ya dengan sikap Dimas, dia emang kadang suka keterlaluan. Sering banget nyebelin, kalo gak cinta dari dulu udah kutinggalkan dia," terlihat dia mengatakan itu dengan tersenyum getir.

"Kamu tau Kasih, sudah tiga tahun kami bersama tanpa ada kepastian sama sekali kapan dia akan menikahiku. Dia hanya ingin seperti ini saja, hubungan tanpa ikatan yang sah." Saat aku ingin menjawabnya dia malah beranjak pergi.

"Sudah dulu ya Kasih, nanti lagi aku ceritanya, udah siang nih. Takut telat, dosennya killer," jari tangannya menoreh leher seolah-olah menyembelih. Kemudian tertawa cekikikan.
Akupun ikut tertawa. Dia lambaikan tangannya padaku lalu berlalu pergi. Kupandangi punggungnya sampai dia mwnghilang dibalik pintu.

Kuhembuskan nafas kuat-kuat. Melihat kebaikan dan keramahannya padaku, rasanya aku tak tega kalau suatu saat nanti dia tau tentang kebenarannya. Bahwa aku adalah istri dari orang yang sangat dia cintai.

Sebagai sesama wanita aku merasa kasihan sekali padanya. Selama tiga tahun hanya jadi pelampiasan nafsu Dimas tanpa ikatan pernikahan. Bagaimana caranya agar aku bisa merubah Dimas?

Aku berpikir sambil tanganku membereskan bekas makan kami. Tanganku terhenti saat kulihat Dimas keluar dari kamarnya hanya memakai kaos oblong dan celana selutut. Jujur dalam hatiku, dia itu tampan dengan garis wajah yang tegas dan terlihat arogan.

Kalau saja dia memiliki sikap yang baik, aku pasti sudah jatuh cinta. Uups, apa? Jatuh cinta? sejak kapan kata itu terlintas dalam pikiranku. Kasih, Kasih mbok ya nyadar diri kalo jadi orang. Bisikku dalam hati.

Dimas melewatiku, mungkin dia mau ke dapur ambil gelas untuk minum. Saat itu aku sadar dan memanggilnya. Aku yakin ini saat yang tepat untuk bicara padanya.

"Mas, bisa kita bicara sebentar?" Dia hentikan langkahnya.

"Mau ngomong apa?" tanyanya tanpa melihat ke arahku. Sejijik itukah kau padaku Mas? sehingga melihatku pun engkau tak sudi.
Kembali dia melangkah ke arah dapur dan mengambil gelas di rak. Aku mengikutinya di belakang. Dia mulai memijit tombol dispenser, setelah gelas terisi dia langsung meneguknya. Kuberanikan diri mendekat padanya.

"Mas, tak bisakah kau nikahi Mbak Sherly? Kasian dia Mas, selama ini kau manfaatkan dia untuk memuaskan nafsumu tanpa ada ikatan yang sah. Kasian dia, kasian juga orang tuanya. Tak takutkah kau akan dosa mas?"

Kuhentikan ucapanku, dan Dimaspun menghentikan kegiatan minumnya.

"Atas dasar apa kamu berani ikut campur dalam urusanku hah?" Ucapnya dengan penuh emosi. Mukanya begitu dekat denganku. Kulihat begitu besar kebenciannya padaku. Sorot matanya tajam seolah ingin menguliti setiap inci pikiranku. Sabar Kasih, perjuanganmu masih panjang.

"Mas jika kau butuh pelampiasan nafsumu, kau bisa datang padaku. Aku halal bagimu Mas," Mendengar hal itu dia langsung tertawa terbahak-bahak.

"Apa katamu? Datang padamu? Dasar gadis gembel tak tahu diri! Jangankan aku, ibu kandungmu saja tidak menginginkan kamu. Dia membuangmu kan? karena dia menyesal telah melahirkan kamu."

Nafasku tersengal mendengar ucapannya. Sungguh itu adalah kebenaran yang begitu pahit bagiku. Tidak ada satupun yang menginginkan aku. Butiran bening itu mulai keluar tanpa permisi membasahi pipi.

Melihatku berurai air mata dia agak sedikit menjauh dariku.

"Baiklah kalau begitu Mas, aku tak akan memaksamu untuk menyentuhku. Tapi setidaknya kau bisa menikahi Mbak Sherly, walaupun hanya pernikahan siri. Setidaknya kau terhindar dari dosa, Mas."

Hanya itu yang bisa kukatakan. Akupun berlalu meninggalkannya.

ISTRI JADI PEMBANTUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang