2. Terkunci (revisi)

271 31 11
                                    

Alkena, laki laki itu tengah fokus pada ulangan harian fisikanya. Bahkan ia tak menggubris sama sekali Zidan yang kerap mencolek dirinya bermaksud meminta jawaban.

"Sstt, Ken. Nomor tiga apah?" Zidan berbisik dengan gestur tubuh memperagakan apa yang ia maksud.

Alkena hanya melirik sekilas, lalu kembali fokus pada lembar ulangannya.

Zidan, si cowok berpostur tinggi itu mendesah kecewa. Lalu melirik Elga yang kiranya bisa menyelamatkannya dari fisika. Namun sama saja dengan dirinya, Elga justru tertidur dengan pulas.

"Sinting."

"Siapa yang sinting?" Suara itu tepat berada di samping Zidan membuat laki laki itu terlonjak kaget. Pasalnya Bu Dinda selaku Guru Fisika itu kini tengah menatapnya tajam.

"Nggak bu. Saya yang sinting karena liat kecantikan ibu."

"HUUUUU" kelas yang tadinya hening seketika ricuh menyoraki ucapan Zidan.

"Sudah sudah jangan ribut. Yang sudah selesai kumpulkan." Kata Bu Dinda menengahi.

Alkena berdiri dari duduknya, lalu memberikan lembar jawabnya kepada Bu Dinda.

"Alkena, kamu boleh tunggu diluar ya, surat dispen kamu juga ibu tanda tanganin, kamu boleh pergi sekarang." Kata Bu Dinda lembut yang di angguki oleh laki laki itu.

"Buset, gue nulis satu soal aja belum selese, dia udah cabut aja. Gue yakin kalo di congkel otak Alkena isinya rumus semua." Guman Zidan pelan.

Kini Alkena berdiri di koridor kelasnya. Menunggu anggota OSIS yang lain berkumpul karna ia keluar kelas terlalu awal. Laki laki itu menatap ke arah bawah karena memang kelas 12 berada di lantai 3. Netranya menelisik arah lapangan, mencoba memastikan gadis itu benar benar menjalankan hukuman.

Namun tak ada tanda tanda gadis itu disana. Alkena berdecak, langkahnya tergerak mencari gadis itu dengan malas. Kalau bukan karna disuruh Bu Amora, mana mau dia harus repot repot begini?

Kaki jenjangnya melangkah dengan santai. Tak jarang kaum hawa yang tengah berolahraga ataupun sekedar lewat memekik tertahan melihat ketampanan Alkena. Mata laki laki itu memicing saat melihat Evelyn yang tengah asik menyeruput kuah soto di kantin tanpa dosa.

Alkena menghela nafas sejenak, mencoba menetralisir perasaan marah yang kapan saja bisa meledak.

"Enak, sotonya?"

Hampir saja Evelyn tersedak kuah soto buatan Mbok Tin itu. Ditatapnya kesal Alkena yang tengah bersedekap dada.

"Ngapain sih lo ngerecokin gue mulu. Naksir lo sama gue?" Evelyn memberengut kesal.

"Pantes Bu Dora angkat tangan sama kelakuan lo. Mirip setan gini." Sinis Alkena.

"Jaga mulut lo, Jamal!" Evelyn menunjuk Alkena, sementara laki laki itu balik menatapnya tak kalah tajam.

"Peduli setan." Alkena menarik lengan gadis itu secara paksa. Membawanya ke perpustakaan.

"Lo liat kan? Perpus berantakan, Mbak Mawar lagi bantuin Kepsek di kantor."

"Terus? Gue harus salto gituh?" Sewot Evelyn menanggapi ucapan Alkena.

"Beresin lah. Bersihin semuanya, sapu sama pel, jangan lupa rapihin buku buku sesuai tempatnya." Tukas Alkena.

"Dih?! Ogah banget, emang lo siapa nyuruh nyuruh gue. Emak gue juga bukan."

"Ketua OSIS di SMA ini."

Evelyn berdecak lalu memutar bola matanya malas.

Dasar laki laki gila jabatan. Pikirnya.

"Buruan gue tungguin." Alkena bergerak menuju pintu dan menutupnya, takut takut gadis itu kembali kabur dari hukuman.

Jemari Alkena menyaut buku Sastra yang tergeletak di meja sana. Sembari mengawasi gadis itu, Alkena duduk dipojok perpus dan menikmati setiap kata yang tertulis di buku tersebut.

Evelyn menghentakan kakinya kesal, saat saat seperti ini ia berharap Teresa datang menolong. Ingin sekali rasanya Evelyn melahap manusia di hadapannya itu hidup hidup.

"Udah buruan. Ngapain cuma bengong gitu."

"Lo nggak lagi mau berbuat mesum ke gue kan?" Evelyn menyodorkan sapu yang ia pegang, menatap Alkena tajam lantaran hanya ia dan Alkena saja yang berada di sana.

Alkena menaikan satu alisnya, "Nggak minat sama yang tepos." cecarnya.

Evelyn mendelik kesal, ingin sekali ia melemparkan sapu yang ia pegang hingga tepat mengenai wajah Alkena.

"Bocah anjing."

"Udah buruan kerjain jangan banyak bacot."

Evelyn menghentakan kakinya kesal. Dirinya dengan malas membersihkan debu debu disana, tak lupa juga merapihkan buku yang tidak pada tempatnya. Meskipun bibirnya tak henti menggerutu kesal. Membuat hal itu tak luput dari pengawasan Alkena.

Selang beberapa menit berlalu, Evelyn mengelap keringat yang mengucur di dahinya.

Gila, bersihin perpus serasa bersihin kebun binatang.

"Udah. Puas lo?" Evelyn menatap Alkena malas.

Alkena mengangguk lalu berjalan menuju pintu. Berulang kali ia coba, namun tetap sama. Pintu itu tidak mau terbuka.

"Kekunci."

"Yang bener lo?! Ah gimana sih, ini pasti akal akalan lo kan?"

"Nggak! Tadi gue cuman nutup doang."

"Gara gara lo njing. SIAPAPUN DI LUAR TOLONG BUKAIN." Kesal Evelyn.

Alkena tak menanggapi Evelyn, laki laki itu merogoh saku seragamnya mencari keberadaan ponselnya. Sial, ia baru ingat barangkali ponselnya tertinggal di laci mejanya.

"WOI BUKAIN PINTUNYA! AH LO KENAPA DIEM BAE SIH. CARI CARA KEK!"

Alkena menatap Evelyn datar, "Lo lupa ini ruangan kedap suara?"

Gadis itu mendesah lesu, gagal sudah acaranya untuk merokok di rooftop bersama Bara. Atau bahkan hanya sekedar bermain game disana.

"Ponsel lo mana." Ujar Alkena.

Evelyn yang terlanjur dalam mood yang buruk itu dengan pasrah menyodorkan ponselnya.

"Kok mati?"

"Ya emang? Gue lupa nge-charger."

"Bego. Kalo gitu ngapain lo kasih?"

"Ya tadi lo minta." Ucap Evelyn sewot.

Alkena mendesah lelah, laki laki itu terduduk di lantai bersender pada pintu. Harusnya ini tidak terjadi jika saja gadis itu tidak banyak bacot, dan menurut jika di perintah.

Alkena menoleh ke samping saat gadis itu ikut duduk di sebelahnya.

"Ngapain lo deket deket gue?"

"Gue mual, disana bau darah." Evelyn tidak bohong, bibirnya bahkan terlihat pucat. Karna memang gadis itu takut darah.

Alkena melirik ke arah yang di maksud Evelyn. Memang benar disana ada beberapa tetes darah, setelah Alkena telusuri itu hanya darah dari tikus yang mati terjepit. Laki laki itu kembali duduk di samping Evelyn.

"Katanya preman sekolah, kok takut darah." Alkena berdecih.

"Gue kan manusia, njing."

Alkena diam, ia membiarkan Evelyn meringkuk di bahunya.






Tbc
Vote & comment untuk menghargai author ya :*

Chessmiling

to ALKENA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang