15. Hujan & Alkena

26 3 2
                                    

Semilir angin malam begitu tenang, menerbangkan surai Evelyn beraturan.  Memori saat dipantai bersama Alkena membuat seulas senyum tipis terpatri begitu saja. Gadis itu menyusuri jalan komplek perumahannya, pasalnya saat diantar Alkena gadis itu selalu meminta diturunkan di depan gang. Bukan apa apa, mengingat bagaimana begitu menyebalkannya ayah dan adik tirinya itu.

Evelyn menginjakan kakinya di rumah bernuansa cat putih itu. Sepi, itulah suasana pertama yang ia rasakan. Tumben sekali. Tapi siapa peduli? Dirinya acuh kemudian beranjak ke kamar miliknya di lantai 2.

Terkejut, Evelyn melongo tak percaya. Kamarnya sudah berantakan, buku buku novelnya berserakan. Naskah naskah cerita yang ia buat berhamburan. Hatinya memanas kala melihat bingkai foto kecilnya bersama ayah dan sang kakak pecah tergeletak di lantai.

"Sial."

Evelyn memaki sembari menyusuri setiap sudut rumah besar itu. Ia jelas tau siapa pelaku busuk dibalik semua ini.

"BRENGSEKK, KELUAR LO SIALAN!" Evelyn menggedor kamar yang letaknya tak jauh dari kamarnya itu.

Seorang gadis keluar dari sana, wajahnya menyeringai tanpa dosa.

"Duh berisik banget sih, gimana pembalasan gue?" gadis itu terkekeh membuat Evelyn mengepalkan tangannya erat.

Plak!

Gadis itu memegang pipinya yang memanas, tak percaya jika sebuah tamparan dari Evelyn berhasil mendarat begitu saja.

"Jangan lo pikir gue takut sama sampah kaya lo, sialan! Lo tuh cuma benalu yang numpang di keluarga gue." Tukas Evelyn tajam, ia menjeda ucapannya. Sorot matanya merah menandakan ia benar benar habis kesabaran.

"Dan satu lagi," Kali ini Evelyn menarik surai gadis itu dan berbisik tepat ditelinga gadis itu persis seperti psikopat.

"Kalo bukan karna Oma gue, Lo dan bokap lo yang ga berguna itu, nggak bakal bisa hidup enak di rumah gue."

Evelyn melepas cengkraman pada rambut gadis itu kasar, hingga sang gadis meringis.

"Awas aja Eve! Lo bakal kehilangan apapun yang lo punya."

Evelyn tersenyum miring, "Kita liat aja, gue atau lo yang bakal kehilangan semuanya."

Setelah mengatakan itu Evelyn menendang pintu kamar gadis itu hingga engsel pintu itu rusak. Tanpa memperdulikan sumpah serapah yang dilontarkan untuknya, Evelyn acuh dan kembali ke kamarnya. Beruntung Bunda dan Ayah tirinya tidak ada dirumah. Kalau ada, mungkin sudah terjadi perang dunia seperti biasanya.

Evelyn merapihkan kekacauan dikamarnya, memunguti naskah cerita yang ia buat. Evelyn memang tidak suka belajar, tapi ia suka menulis. Baginya menulis adalah satu cara mengungkapkan perasaannya lewat sebuah tokoh yang ia buat dalam ceritanya. Membuat alur cerita sesuai yang ia inginkan.

Netranya bergulir menatap serpihan kaca yang tergeletak dilantai. Ia tatap nanar bingkai foto itu.

"Kalian dimana? Evelyn kangen. Sekarang ngga ada Abang yang lindungin Eve. Ngga ada Ayah yang selalu sayang Eve. Sekarang Evelyn harus jadi anak mandiri yang ga boleh lemah, biar bisa nyari tau keberadaan kalian. Atau bahkan hanya sekedar bisa tetap waras setiap harinya."

Setetes bulir bening yang selalu ia tahan selama ini, menetes begitu saja. Untuk malam ini, hanya malam ini. Evelyn yang sangar dan tak pernah takut pada apapun itu. Kini menampakan sisi rapuhnya kepada bulan yang  bersinar terang diatas sana. Sesekali menangis tidak apa kan?


***


Jam masih menunjukan pukul 06.00 bahkan gerbang SMA Nusa Karya baru saja dibuka beberapa menit yang lalu. Belum banyak siswa yang datang. Derum motor sport milik Evelyn terdengar, membuat Pak Sugeng selaku satpam sekolah itu menyeringit heran. Pasalnya siswi ber name tag Evelyn ini tumben sekali berangkat pagi buta begini, biasanya paling pagi gadis itu sampai disekolah jam 8.  Gadis itu berhenti tepat di depan Pak Sugeng.

to ALKENA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang