4. Tentang Evelyn

198 32 8
                                        

Evelyn berjalan santai dari halte bus depan komplek rumahnya. Ia berjalan menyusuri gang komplek dengan tangan memegang ujung tali tasnya. Sesekali matanya menelisik sekitar, tatapannya seperti hampa?

Seharusnya ia senang karena bisa rehat dari lelahnya sebagai seorang pelajar. Seharusnya ia senang bisa pulang untuk rebahan mungkin? Tapi tidak dengan Evelyn, gadis itu selalu merasa dunianya tak ada arah jika berada dirumah. Aneh bukan?

Seharusnya rumah ialah suatu tempat mencari kenyamanan. Tempat dimana ia bisa mendapat ketenangan. Evelyn tertawa miris dalam hati. Tak sengaja matanya melihat interaksi antara seorang gadis dengan sang ibu di depan rumah yang ia lewati. Gadis itu sepertinya baru pulang sekolah, dilihatnya gadis itu disambut hangat oleh sang ibu. Bagaimana sang ibu yang dengan lembut menatap anaknya dengan sayang. Bagaimana sang ibu mendengar keluhan sang anak. Pasti sangat menyenangkan ya? Apalagi kalo orang tua selalu memberi semangat untuk impian sang anak.

Hati Evelyn mencelos, andai ia bisa seperti itu. Ia juga ingin punya dukungan dari orang tua. Dimana mimpi mimpinya yang begitu tinggi tetapi harus ia kubur dalam lagi.

"Hidup gue gini amat" gumamnya lirih, matanya begitu menyimpan sorot terluka, kecewa dan beban yang teramat meskipun kenyataannya gadis itu seolah tak punya beban.

Langkahnya sampai pada rumah bercat putih. Tanpa salam atau ketukan pintu ia langsung masuk ke dalam rumah. Ya, seperti dugaannya. Baru saja masuk kedalam rumah, bau alkohol sudah menyeruak ke indra penciumannya. Ditambah lagi melihat wanita paruh baya yang mau maunya saja menuruti kemauan lelaki sialan itu. Pemandangan yang sangat memuakan untuk Evelyn! Segera ia bergegas menuju lantai dua dimana letak kamarnya dan menghiraukan seorang wanita paruh baya yang hendak menyapanya.

"Maaf. Bunda belum bisa lakuin apa apa, Eve." Runi-Bunda Evelyn menatap punggung putrinya dengan nanar. Dadanya sesak, desakan air dipelupuk matanya menciptakan awan mendung nan menyedihkan.

***

Keesokan paginya, seperti biasa. Setelah siap dengan seragamnya Evelyn berjalan menuruni tangga dan berlalu melewati ruang makan. Dimana disana ada sang Bunda dan lelaki yang Evelyn anggap sialan itu tentunya.

"Dimana sopan santun kamu sebagai seorang anak, Evelyn!" Suara tegas dari laki laki itu berhasil membuat langkah Evelyn terhenti. Dadanya naik turun menahan emosi. Namun ia berusaha tetap terlihat santai.

"Dimana sopan santun anda sebagai orang asing disini? Pemabuk!" Evelyn tersenyum miring tanpa menoleh, kemudian melanjutkan langkahnya.

"Dasar anak tak tau di untung!" Ucap lelaki itu penuh emosi yang meluap.

"Sudahlah mas, maafkan Eve. Dia belum mengerti" itu suara lembut Runi.

"Anak kamu memang tidak jauh beda dari kamu!"

Prangg!!

Lelaki itu melempar piringnya kemudian pergi ke kamarnya dengan perasaan berapi. Sedangkan Runi hanya bisa menitikan air matanya. Sampai kapan ini terjadi?

Evelyn yang masih bisa mendengarnya hanya berdecih kemudian tetap melenggang pergi. Bodoh! Untuk apa bersikap lembut pada lelaki sialan itu?. Begitulah kira kira yang ada dipikiran Evelyn. Walaupun ia merasa kasihan dengan bundanya, tapi untuk apa? Toh bundanya sama sekali tak mau mendengarkan ucapannya.

***

Evelyn hari ini datang ke sekolah tidak lagi terlambat seperti biasanya. Ia berjalan menyusuri koridor dengan bersenandung kecil seolah tak memiliki beban hidup. Ya! Seperti itulah Evelyn. Selalu terlihat bahagia bahagia saja saat diluar rumah.

to ALKENA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang