Prolog

292 50 147
                                    

Capella

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Capella

"Gimana nanti rencana kamu pas lulus? Nilai ujian kemarin berapa? Coba difoto, biar Mas lihat."

Gue nggak tahu rasa benci ke orang tu bisa senggak enak ini. Benci yang benci banget. Karena diri lo sendiri selalu dikekang sama apa yang mereka prioritaskan. Dikekang sama impian mereka yang jelas bukan impian lo.

Mapel yang paling gue nggak suka adalah matematika. Selain itu, fisika, kimia, dan ekonomi kalau pembahasannya udah masuk ke nilai PNB, pajak bangunan, banyak angsuran, atau yang lainnya. Gue benci angka, sebab gue nggak bisa. Nilai gue selalu jelek soal mapel yang berhubungan sama angka dan ketika nilai gue merah, at least cuma angka dua di bawah KKM. Bokap-nyokap selalu bilang, "Kok bisa?"

Dan dari sekian banyak respons yang tidak menyenangkan yang mereka kasih ke gue, tanggapan Mas Aron barusan salah satu yang gue nggak suka. Kenapa, sih? Kenapa Mas Aron juga harus sama-sama buat gue benci sama yang namanya kalah?

Benci sama yang namanya gagal?

Benci sama yang namanya nggak bisa?

Salah, ya kalau gue nggak bisa satu-dua hal?

"Dek?"

"Bentar, Mas. Rapotnya aku lupa naruh di mana. Em ... ntar aku foto malem aja, ya. Pas udah selesai nugas."

Gue nggak tahu keputusan untuk kirim transkip nilai rapot dari semester 1-5 nanti malem itu salah atau nggak. Yang jelas sekarang, dipikirkan gue, hanya ada kata 'pokoknya nggak sekarang' sebab beberapa menit yang lalu, nyokap habis berdebat kecil sama gue.

Soal masa depan gue setelah lulus. Soal tes gue yang rata-ratanya turun, soal gue yang katanya begadang cuma buat main HP.

Alhasil, perdebatan kecil itu berubah jadi adu mulut. Hal sesederhana itu, ternyata bikin gue terluka sedalam ini. Berdebat sama nyokap adalah satu-dua hal yang paling gue benci dan akhir-akhir ini kita sering melakukannya.

Kenyataannya, ada lebih dari lima aplikasi berisi les online yang sedang gue buka setiap malem dan emang sampai pagi buta.

Sebab gue takut apa yang gue mau nggak Tuhan kasih, makanya gue harus kerja keras.

Gue nggak mau usaha gue nggak kasih hasil yang gue pengen, makanya gue porsir apa yang gue punya.

Gue nggak mau kecewa.

Gue nggak mau nanti nangis karena gue gagal.

Seenggak mau itu gue jatuh. Iya, bener, karena ketika gue jatuh, nggak akan ada satu orang pun yang bakal bantu gue berdiri ....

"Halooo, Mas Aron! Gimana kabar di sana? Mbak Galak juga gimana kabarnya?"

Kecuali dia. Orang yang tiba-tiba masuk kamar tanpa ketuk pintu, terus ambil gawai yang masih berisi panggilan dari Mas Aron. Dengan hebatnya dia bikin seolah-olah dia nggak berusaha membuat gue lari dari topik 'nilai' yang tadi Mas Aron minta.

Orang itu bukan orang asing untuk gue dan penghuni lain di rumah ini. Itu sebabnya dia ambil gawai gue, karena dia tahu ketika Mas Aron telefon, berarti ada hal penting yang harus dia bicarakan, dan satu-satunya hal penting buat Mas Aron itu soal nyokap-bokap dan nilai.

"Baik, Al. Udah gede aja kamu di sana. Gimana perkembangan belajar kamu? Rencananya mau ke mana? Nanti kalau ada info, biar Mas Aron carikan."

Altair bukan seperti gue yang benci akan pertanyaan 'rencana kamu mau di mana?' dia adalah sosok yang akan bicara ngalor-ngidul soal semua impian dan rencana-rencana gilanya.

Seolah semuanya akan baik-baik aja.

Seolah kegagalan itu nggak menyakitkan.

"Masuk SNM aku mau daftar teksip yang di Jogja, Mas. Pilihan keduanya arsitek yang di Semarang. Nah, ntar kalau nggak keterima aku SBM, sementara jurusannya mau sama kayak yang SNM, Mas. Cuma belum yakin bakal di universitas yang sama atau nggak. Keren nggak, Mas?" Dia tertawa, setelah mengucapkan semua rencana-rencana satu per satu.

Nggak perlu beberapa detik, Mas Aron langsung menanggapi. Ekspresi Altair ketika menyimak penjelasan Mas Aron setelah itu adalah penuh konsentrasi, matanya berbinar, ujung bibirnya terangkat, seolah-olah apa yang dia mau bakal Tuhan kasih semuanya, tanpa dikurangi satu impian pun.

Dia salah.

Bermimpi itu artinya lo berani kecewa. Semakin tinggi impian lo. Semakin sakit jatuhnya dan lo bakal ngerasain sakitnya ketika ... lo gagal.

***

Next?

Kalian tim kayak Capella?

Apa Altair?

🤖

Resonance Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang