01. how is she

199 37 161
                                    

Altair

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Altair

"Caca ke mana, Tante?" Gue bertanya sambil makan kacang yang tadi Om Sugeng kasih di depan.

Tante Likha yang masih sibuk di dapur berkeramik biru muda dengan gambar bunga itu cuma noleh sebentar dan bilang, "Di kamar, Al. Udah makan kamu?"

Selalu nanya udah makan atau belum itu ibunya Caca banget.

"Udah, kok, Tan. Tadi Bunda masakin Al semur ayam." Gue mengatakannya dengan bangga karena seumur-umur waktu bunda masak tu langka. Sebab dia selalu pergi lama dan pulang cuma sebentar. Setiap tiga bulan sekali, di tanggal 15, gue yakin ibunya Caca, bahkan satu rumah ini pun tahu soal itu.

"Wah, enak, tapi bunda kamu sehat, 'kan?"

Gue menjawab dengan acungan jempol

"Ya, udah kalau gitu, panggil aja si Ella biar turun."

Gue mengangkat tangan dengan posisi hampir menyentuh pelipis, "Siap, Komandan." Suara tawa gue diikuti senyuman manis dari Tante Likha, sosok yang nggak pernah mau lihat anaknya gagal.

Berjalan melewati tangga yang menghubungkan lantai satu sama lantai dua, gue menyadari ada dua suara dari arah kamarnya si Caca. Di anak tangga terakhir, gue tahu itu suara siapa. Dengan sedikit tergesa gue membuka pintu kamar orang yang selalu butuh 'privasi' katanya.

Juga orang yang paling benci kalau barang-barangnya disentuh orang lain, terutama buku catatannya.

Gue berdiri di depan pintu kamar. Membukanya cepat dan tangan gue tanpa perlu waktu lama, langsung menyambar benda pipih yang lagi Caca dekatkan ke telinganya. Gue tahu Caca lagi ngomong sama siapa di telepon dan gue tahu apa yang mereka bicarakan. Si Caca lihat gue kaget setengah mati dan setengahnya lagi ... lega.

Begitu pun gue. Ngerasa lega juga.

Lega karena udah berhasil buat dia keluar dari labirin yang barusan dia masuki. Sebab mau seberapa banyak dia pergi ke labirin itu, nggak pernah satu kali pun Caca berhasil keluar.

"Halooo, Mas Aron! Gimana kabar di sana? Mbak Galak juga gimana kabarnya?"

Gue ngobrol dengan kakak kandungnya Caca lama, beberapa kali ketika menyimak tanggapan yang Mas Aron kasih, gue melirik ke arah depan.

"Apa liat-liat?" Gue mengatakan itu tanpa suara, kaki Caca yang tadi dilipat, sekarang mencoba menjejal tubuh gue yang duduk santai di depannya dan di atas kasur warna coklat susu pemberian dari Omnya yang tahun lalu pulang kampung.

Gue tertawa ketika kakinya malah terjebak di kedua kaki gue. Dia susah payah mencoba lepas, tapi nggak berhasil karena kaki gue mengunci kakinya lama.

Beberapa menit dia masih mencoba lepas diri, alhasil setelah itu dia malah tiduran. Melototi gue seakan gue udah melakukan pelecehan. Lucu banget matanya kalau udah segede biji salak begitu. Kakinya sekarang gue lepas, dengan kekehan yang gue layangkan si empu masih menatap gue horor.

Resonance Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang