16. look at the moon

33 1 0
                                    

Pov Author

"Loh, Mas? Pulangnya kok nggak bilang-bilang? Ini kalau bilang kan bisa dijemput bapak."

Laki-laki yang masih memakai jaket dan juga sepasang sarung tangan hanya sibuk untuk memeluk ibuknya sendiri daripada membalas perkataan perempuan yang barusan bertanya. "Nggak apa-apa, Bu. Mampir tadi, soalnya ada kerjaan di daerah kota. Ya, sudah. Adek sama bapak ada di rumah, Bu?"

"Adekmu lagi ke rumahnya Alta. Nanti kamu ke sana aja, kalo bapakmu, dia lagi ke masjid. Biasa mau ada pengajian besok Sabtu."

"Aron mau ngajakin Adera, tapi dia nggak mau, Bu. Katanya malu."

"Masih malu-malu aja dia? Gimana kalian? Udah ada rencana belum?"

Aron mengembuskan napas pelan. "Bu ...."

"Apa??"

"Fokus dulu ke adek. Dia bentar lagi kan udah mau lulus."

"Ada bapak sama ibu yang bisa jagain dia. Dia juga usah gede, Ron. Sedikit banyak juga ibu udah kasih dia banyak nasihat buat lanjut di jurusan favorite. Kamu sekarang giliran fokus sama hidup kamu, Nak."

Senyum mengembang begitu tangan milik sang ibu mengusap pundak putra sulungnya. "Nggak apa-apa. Capella juga masih butuh Aron, Bu. Nanti urusan aku sama Adera, biar kita urus setelah Capella dapat sekolah baru."

"Kamu yakin? Adera juga ... katanya mau ke luar kota, pasti nanti kalian jarang ketemu. Takutnya--"

"Bu, jodoh, rezeki itu udah ada yang ngatur."

"Termasuk rezeki aku mau masuk PTN mana juga udah di atur, kan, Mas? Jadi nggak usah terlalu pusing mikirin aku mau lulus di mana. Atau jurusannya kudu ini-itu supaya aku bisa lulus jadi PNS lah, teknisi lah. Capella pengen ... masuk ke jurusan yang emang aku pengen. PTN yang jauh dari rumah supaya aku bisa belajar mandiri juga. Ya, Bu?"

"Capella. Kemarin ibu sudah bilang. Cari yang dekat, lagian kualitas mereka kan bagus. Akreditasi tekniknya juga udah A, La. Ella itu anak perempuan jangan jauh-jauh dari rumah."

Tuh, kan. Capella menarik napas sesak. Lalu mengembuskannya pelan.

"Tapi itu bukan jurusan yang Capella pengen, Bu. Gimana aku bisa bertahan belajar empat tahun kalau milih sesuatu yang nggak aku suka."

"Ya, karena kamu ga suka makanya ga bisa. Coba dulu, nggak ada yang namanya nggak bisa sayang ...."

"Mau dicoba sampe kapan, Bu? Aku yakin aku emang ga minat di bidang itung-itungan. Ibu juga suka liat kan nilai aku? Aku dapet bagus aja usahanya sampe begitu. Pokoknya Ella ga suka, Bu. Ella pengen masuk Soshum."

"Dek?"

"Kata Mas kan rezeki dah ada yang ngatur. Aku pengen ini, Mas."

"Meskipun begitu, kita juga harus perhitungkan benar-benar, Ca. Nggak bisa ngasal. Kamu saintek ya lebih baik pilih yang se-linear."

"Mas Aron nggak yakin aku bisa?" Ada rasa kecewa yang lagi-lagi menyeruak masuk ke dalam sana. Capella menahan untuk membuat bibirnya diem, tetapi nahas kini malah bergetar jelas. Ditambah lagi kenapa juga, sih, matanya harus memanas disaat seperti ini? Kan dia malu ....

"Mas khawatir, Ca. Bukan karena nggak yakin."

"Khawatir kenapa? Aku udah pikirin ini, Mas. Nggak sekali dua kali. Aku juga dah punya rencana abis itu mau ke mana dan lain-lainnya."

"Mas tanya, beneran yakin kamu mau ambil soshum? Yakin nggak bakal nyesel nantinya?"

Kenapa rasanya ditanya seperti itu jadi membuat ragunya lebih besar, ya? Tapi tidak boleh! Dia harus yakin pada dirinya sendiri. Ini hidupnya, kan? Kapan dia mau berubah dan mandiri kalau disetir terus-terusan? Betul, saatnya membuat perubahan
Capella mengusap matanya dengan gerakan cepat.

Resonance Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang