02. sinking side

159 38 197
                                    

Capella

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Capella

Di umur gue yang hampir delapan belas ini, kadang pernah mikir kayak ... kenapa hidup tu sebegini nyebelinnya, ya?

Iya, gue tahu umur gue baru tujuh belas. Belum ngerasain yang namanya dunia kerja, bahkan kuliah. Pun masalah hidup gue masih berputar di 'nilai' dan prestasi yang ... gue setengah mati mencoba untuk menggapai itu, tapi gue hampir memilih berhenti.

Merasa kalau seharusnya alur dari hidup gue itu bisa lebih baik dari ini kalau aja dunia adil, kalau aja nggak ada sesuatu yang menuntut gue harus bisa ini dan itu.

Kalau aja dunia punya perasaan dan kasih gue sesuatu yang bisa selalu buat gue kuat ketika semesta sialan itu bercanda, rasanya hidup gue bisa lebih sempurna.

Bisa lebih cerah.

Bisa lebih sedikit berwarna.

Bisa lebih lega dan nggak mencekik.

Tapi lagi-lagi gue sadar kalau Tuhan kasih dunia semacam ini.

Dunia yang selalu meminta, tanpa mau paham apa yang gue mau.

Dan, gue nggak suka berharap.

Termasuk ke orang tua, karena pernah suatu pagi. Lagi-lagi hanya karena masalah kecil, alarm HP gue bunyi di jam dua pagi, tapi gue nggak bangun dan itu menganggu ayah yang tidur. Esoknya beliau marah, ketika ditanya, "Kenapa bisa nggak bangun? Jelas-jelas itu bunyi beberapa kali dan keras. Itu nganggu orang tidur, Ella."

Gue rasanya mau marah sebab alasannya jelas karena begadang belajar, tapi kenapa mereka nggak ngerti? Kenapa mereka seolah-olah acuh sama dunia gue? Kenapa hal-hal begitu mereka nggak paham?

Kenapa hanya karena masalah kecil begitu ayah bisa semarah itu, sih? Belum lagi Ibu yang ikut-ikut marah dan berakhir ... Ayah meneriaki gue perihal mimpi.

Dinding kamar gue emang penuh sama notes, entah itu list tugas, atau sekadar impian yang gue pengen wujudin. Yang kertas paling besar adalah tulisan "Lolos SNMPTN" dan bisa-bisanya beliau bilang, "Apa gunanya kamu nulis begitu! Hal-hal kecil aja kamu sepelein, La. Yakin bisa? Mimpimu nggak singkron sama apa yang kamu lakuin."

Detik itu juga, ketika perkataan beliau selesai dan jarinya turun setelah menunjuk ke kertas yang paling besar, beliau pergi dari kamar gue. Sambil membawa semua harap dan semangat gue.

Dia ....

Sosok yang selalu gue ceritain soal apapun.

Satu manusia yang gue yakin seyakin-yakinnya nggak akan pernah buat gue nangis apalagi kecewa.

Yang selalu gue ajak ngobrol karena ibu sama sekali nggak suka denger gue cerita.

Ayah gue yang jadi rumah ketika gue ngerasa capek sama semuanya.

Resonance Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang