07. Altair's favorite sound

54 3 11
                                    

Altair

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Altair

Gue sama sekali nggak ngerti apa yang ada di pikiran si Caca. Daftar siswa yang masuk eligible sudah dia lihat dan ada nama gue serta namanya, tapi dia kelihatan sedih. Padahal itu udah lebih dari seminggu. Reaksinya saat pertama kali enggak kaya gini memang, tapi gue nggak ngerti kenapa esok harinya. Dia kelihatan murung sampai sekarang.

Bahkan, dia diem aja waktu gue ngejek dia dua hari lalu karena nilai *UH Bahasa Jawanya lebih kecil dari gue. Kalau diinget-inget, Caca bukan tipe yang mau kalah soal nilai kalau sama gue, dia bahkan akan sangat jengkel ketika rangking-nya ada di bawah gue.

"Heh, Ca."

*UH : Ulangan Harian.

Dia masih fokus ke layar HP-nya yang menampilkan bermacam-macam lagu dari spotify sambil tiduran di paha gue. Kenapa nggak di bantal coba? Emang aneh ni orang.

"Ca?" Gue mengangkat paha diposisi duduk, kepalanya langsung jatuh ke kasur, dia langsung berdecak sebal. Gue ketawa hampir meledak, tapi ....

"Ih! Sakit, tau, Al!"

Gimana nggak sakit? HP-nya ikut jatuh ke mukanya.

"Ehhh, sorry-sorry. Nggak bermaksud. Sini gue liat."

Dia mengibaskan tangannya hingga gue mematung sesaat. "Udah lah. Nggak usah! Ck."

Dia duduk di tepi kasur, memegang dahinya yang sepertinya kena HP yang tadi jatuh. Gue mengintip dari samping. "Minta maaf, Ca. Siini gue liat, nanti kalau--"

"Nggak usah."

Lagi-lagi gue mematung, suaranya terdengar bergetar. Ada rasa iba, tetapi jujur. Gue juga merasa marah. Kenapa cuma begitu aja dia reaksinya berlebihan, sih? Malah nangis segala. Jadi, oke, gue memutuskan untuk pergi. Dengan cepat gue mengambil komik yang belum habis gue baca di atas nakas dan tas sekolah gue, membawanya keluar kamar.

"Kalau lo marah sama sesuatu, jangan lampiasin ke sesuatu yang lain yang nggak tahu apa-apa. Lo tahu, kan, kalo digituin nggak enak." Entah kenapa gue juga ikut emosional dan bilang sesuatu kaya gitu.

"Gue balik," pamit gue setelah selesai memasukkan semuanya ke dalam tas. Mengangkatnya dengan tangan dan mulai berjalan ke arah pintu kamar.

Satu detik

Dua detik

Tiga detik

Empat detik

Lima--

"Kok balik ...." Rasa kalut bercampur kesal yang tadi gue rasakan, yang sedari tadi rasanya sudah mengepul di atas kepala, tapi sekarang pelan-pelan luntur sebab suara lirih itu. Bersamaan dengan suara tangisnya yang sekarang lamat-lamat terdenger, meskipun kurang jelas. Hah, anying malah nangis.

Gue berbalik demi melihat seseorang yang dari seminggu lebih gue tanya kenapa, tapi nggak pernah ngasih tahu apa-apa. Selalu bilang 'nggak papa' padahal nyatanya? Dan sekarang gue berada di depannya, Caca melihat gue dengan mata yang sudah berair, pipi basah, dan bibir bawah yang dia gigit. Tangan kanannya mengelus batang hidung yang oke, emang agak merah.

Resonance Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang