***
Capella
"Heh, lo di sini emang mau beli seblak apa gimana?"
Gue nggak nyangka pertanyaan retoris semi bodoh itu keluar dari mulut si Alta. Emangnya kalau si Gian-Gian itu ke gerobak seblak mungkin gitu niatnya mau beli siomay? Apa nge-loundry? Ya, nggak mungkin kan. Ck. Ck. Ck. Pertanyaan aneh, tapi yang lebih anehnya lagi ... gue juga penasaran.
"Iya," tuturnya setelah beberapa detik menatap Alta dan kemudian mengambil sekantung plastik berisi dua bungkus seblak. Oh, dia juga suka ceker ....
"Duluan," pamitnya lagi, tanpa memberi jeda Alta menanggapi jawabannya yang pertama. Orang yang nanya di sebelah gue cuma nyengir sambil ngangguk. Tumben Alta nggak ngerusuh pas temen sekelasnya pergi begitu. Kalau aja yang pamit Bang Joni atau Cahyadi, atau Haikal ... pasti dah dilarang duluan, kata dia pamali. Bawahan tu di mana-mana pulang setelah atasannya pulang! Nggak ada adab lo semua! Kena karma *seret jodoh nangesss setahun lo!
Itu kata Alta. Emang orang gila.
*seret : bahasa Jawa, artinya dalam kalimat tersebut sama dengan 'susah'
"Ati-ati, Bos." Alta mengatakannya ketika kuda besi berwarna hitam milik si Gian itu dijalankan ke arah jalan yang sudah seperti simulasi jalan ibu kota. Ya, gimana nggak. Ramee banget, jelas karena jam-jam segini. Semua orang baru pulang ke rumah, anak SMA, pekerjaan pabrik perusahaan tekstil deket pasar, terus pegawai pakan ayam yang sempet di demo beberapa hari lalu, terus juga perusahaan lain yang memproduksi kayu.
Tapi ngomong-ngomong, si Gian-Gian itu arahnya ke kota. Loh, dia anak sana? Kok sekolah di SMA kabupaten?
"Ca?"
"Hm?"
"Akhir bulan ini ada acara nggak?"
Gue menoleh ke Altair sejenak. Tumben nanya acara-acara gue segala. "Nggak ada, sih. Kenapa? Lo mau ngajakin gue jalan-jalan? Oke, deal. Asalkan lo ajarin gue fisika yang rapat-renggang sampe gue bisa ngerjain latihan soal sendiri."
Sebuah tangan mencubit pipi gue kilat, juga matanya yang jadi menyipit sesaat karena dia tengah tersenyum menampilkan gigi kelincinya yang jujur! Gue iri. "Iya, gue ajarin."
Kemudian, dia kembali ke ekspresi biasa dalam waktu kurang dari satu menit. "Tapi ikut gue ke Semarang, ya? Tanggal 27 bulan ini."
Semarang? Bukannya itu kota kerja bundanya Altair? Eh, dia mau ketemu? Apa main? Kok sampe semarang?
"Acara apa lo ngajak gue ke Semarang, Al?""Acara nikahan." Ada jeda lumayan lama dan kira-kira ada lah kalo 10 detik. "Mau, 'kan? Nemenin gue, ya?"
"Iya."
***
Meskipun kejadian di warung seblak Abah udah terlewat sejak beberapa seminggu yang lalu, tapi jujur gue masih kepikiran. Sama orang itu.
Nggak tahu, rasanya tu kek aneh. Seakan-akan gue nemu sesuatu yang menarik dari dirinya. Padahal kita kenal aja nggak. Yang paling menarik perhatian gue, katanya Alta kan dia pinter, ya? Soalnya anak OSN, tapi kenapa kelihatan kek orang tanpa semangat hidup?
Gue ngelihat dia kek nggak ... bahagia. Padahal, bukannya anak pinter itu pasti seneng? Dipuji orang tua. Dapet prestasi di sekolah. Bahkan, bisa jadi terkenal, tapi Ini orang beda dan gue makin penasaran.
"Gian ganteng banget apa sampe lo ngalamun terus dari tadi?"
Gue menelan ludah susah payah mendengar ocehan Alta barusan. Ini Alta otaknya kenapa, sih? Mikirnya *sengklek mulu. Aneh, mending mandi. Oke, bener. Itu lebih baik.
*sengklek : nggak bener
Tapi belum genap empat langkah, Alta melempar handuknya yang basah ke muka gue.
"GOOOLLL!"
Sialannn. Yang tadinya gue udah siap keluar kamar menenteng handuk menuju tangga, jadi balik kanan mukul dia dulu.
Merasa kesel, eh dianya cuma nyengir dengan muka yang hampir meledak karena saking merahnya. Untung masih sabar, jadi detik itu juga gue memutuskan untuk turun ke bawah.
"Hehhh! Malah kabur, lo. Gue belum selesai nanya, iniii beneran lo naksir sama Gian, Ca?"
Yang diem ngalah. Yang sabar cantik. Yang baik diem. Gue mengucap mantra ketenangan sambil berjalan menyusuri tangga ke lantai bawah.
"Gue bilangin ibu lo, kalo lo masih diem ...." Alta yang tiba-tiba suaranya menjadi pelan sukses buat gue menghentikan langkah. Sialan lo, Al!
Ck, bercanda aja dianggep serius. "Kenapa lo kepo? Lagian. Lo berlebihan amat, sih. Kan gue udah kasih tahu gue cuma penasaran, malah nanya aneh-aneh mulu."
Alta mengikuti langkah kaki gue yang sudah sampai tangga. "Beneran? Jangan aneh-aneh, ya, lo, Ca. Lo jangan naksir orang di first sigh gitu, dong. Lo nggak tahu katanya sakitnya cinta begitu bakal ampe sakit se-rusuk-rusuk?" Suara Alta masih bervolume lirih. "Heh. Gue nggak mau berurusan kalo lo ada apa-apa sama dia, ya, Ca."
Tunggu, emang Gian kenapa? Sampe Alta sebegitunya?
"Ella! Pengumuman SNM hari ini, 'kan! Gimana hasilnya? Masuk eligible, nggak? Altair jugaaa, gimana hasilnya, Al?"
Mati. Gue sampe lupa jam tiga sore pengumumannya! Dua jam yang lalu!
"Sebentar, Bu! Ella belum liat! Altaaa, cepet cek!"
"Nggak mandi dulu lo, Ca? Katanya mau mandi?"
"NANTIII!"
"Tapi ketek lo asli asem baunya, Ca."
Bisa-bisanya dia bilang begitu di waktu yang genting begini. "Berisik!" ucap gue. Sambil berlari ke kamar. Membuka laptop dan menghidupkan hotspot di gawai. Alta juga membuka gawainya, jantung gue ....
Tolong, ya Tuhan ... lolosin Hamba dan Altair. Saya mohonnn. Sebuah tangan menggoyangkan tubuh gue.
"Bentar jangan ganggu gue!"Rasa jantung yang terpompa begitu cepat, juga desir aneh karena perasaan gue pasti lolos, tapi ada juga perasaan takut karena siapa tahu semesta lagi bercanda. Tangan gue sudah lebih dulu diserang dingin tiba-tiba, diikuti kaki, dan sekarang oleh keringat dingin yang membasahi telapak.
Ck, sinyal ke mana, sih!
"... Ca."
Ck! "Bentar, laptop gue belum masuk WA."
"... Nih, liat."
"...."
***
See u soon! 🧁
Ada revisi dikit, hehe
KAMU SEDANG MEMBACA
Resonance
Teen FictionAltair x Capella Harinya terserah semesta, santuy seminggu dua kali Young Adult 15+ ______________ Di sini kalian akan bertemu dengan remaja gila yang terluka karena mempertahankan mimpinya, menomor duakan diri mereka sendiri. Mereka adalah wujud d...