03. sweet poison bitter sugar

108 15 184
                                    

Altair

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Altair

"Loh, kok dikasih ke Ella, sih? Ella nggak mau, Bu. Nggak suka seblak yang ada cekernya."

"Ya, sudah. Kasih Ayahmu itu."

Caca mengambil ceker yang baru aja tante Likha kasih di mangkoknya. Di taruh ke mangkok Om Sugeng.

"Besok lagi yang ceker itu cuma ayah. Ibumu lebih suka dikasih bakso."

"Kok ayah dibeliin malah begitu? Bersyukur, Yah. Bersyukur."

"Halah. Kayak kamu iya aja. Ayah yakin, Alta tertekan kalo pergi sama kamu. Mintanya pasti aneh-aneh."

Gue hanya bisa tersenyum mengamati bagaimana keluarga Caca berinteraksi. Ada senyum dari tante Likha yang mengembang melihat sang bungsu, juga om Sugeng yang terus-terusan menepuk bahu gue dengan irama yang gue mulai hafal dan kalau boleh jujur itu bikin gue nyaman.

"Iya, Om. Jujur rada tertekan," sahut gue langsung dibalas mata melotot dari siapa lagi kalau bukan si Caca.

Gue merasa jadi bagian di keluarga yang bahkan, nggak ada ikatan darah sekalipun. Pernah suatu ketika, saat deadline pembayaran uang study tour Tante Likha datang ke sekolah dan membayar semua tagihan Caca dan juga gue.

Rasanya bingung, gue tahu gimana keluarga ini menghormati uang barang hanya seribu rupiah. Caca juga nggak pernah sekalipun diizinkan beli sesuatu yang nggak perlu meskipun dia kepengen, novel misalnya. Dia sempet nyolong-nyolong untuk beli dan membeli dengan uang sakunya sendiri, esoknya om Sugeng menceramahinya sampai Caca jadi pendiam dua hari karena kelewat badmood. Udah gue bilang kan dia bukan tipe yang suka dikasih tahu.

Dan sekarang, uang senilai lebih dari satu juta setengah mereka kasih untuk biaya study tour gue yang bahkan keluarganya pun bukan.

Gue sengaja nggak memberitahu bunda sama ayah. Juga mengubur keinginan gue untuk ikut serta dalam acara rekreasi tiga tahun sekali itu. Pun gue nggak pernah cerita soal ini ke Caca, tapi kenapa tante Likha bisa tahu, itu yang sampai sekarang gue nggak paham.

"Ya, nggak lah! Caca tu jimat keberuntungannya si Alta, Yah. Lihat aja pulang dari Salaman, si Alta selamat sampai rumah. Padahal nggak pake helm, loh!"

Tante Likha memukul kepala Caca dengan sendok. Gue mencoba nggak tertawa melihat ekspresi Caca yang setengah marah setengah menahan sakit. "Aah, Ibu! Kenapa mukul Ella?"

"Ngomongnya dijaga. Nggak boleh begitu."

Caca akan langsung diam ketika tante Likha udah mode begitu. Dia tipe anak cewek yang lebih terbuka sama ayahnya. Om Sugeng itu sosok yang paling Caca suka. Pernah suatu ketika, saat ada tugas buat biografi tokoh favorit. Kelas sembilan SMP, waktu itu dia maju, mempresentasikan hasil kerjanya dengan Om Sugeng sebagai tokohnya. Padahal yang lain termasuk gue milih pahlawan nasional Indonesia.

Resonance Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang