Tama yang baru saja duduk setelah meletak tas dan melepas jas nya kini terdiam melihat sebuah undangan tepat dimatanya, tertaruh rapi. Awalnya Tama tidak tahu siapa pengirim undangan itu, setelah membukanya akhirnya Ia tahu.
"Mereka jadi nikah." Tanya Tama.
"Jadi."
Tama menatap sosok Arza yang bersandar dipintu ruangannya tanpa banyak berkomentar dan melipat kembali undangan itu.
"Kenapa.?"
"Gue mau lihat gimana reaksi Lo liat undangan itu." Arza duduk di salah satu sofa yang tersedia.
"Biasa saja." Jawab Tama enteng.
"Lo...pergi.?"
Tama mengangguk "Ya."
"Kalau nyakitin Lo jangan datang."
Tama menggeleng "Cukup sekali Gue jadi pengecut, Gue gak mau jadi pengecut dua kali."
"Tama, ini bukan masalah harga diri."
"Menurut Lo begitu."
"Pratama."
"Jangan kesini, kalau Lo cuma mau lihat bagaimana akhirnya hidup Gue. Gue baik-baik saja, dan gak bunuh diri."
"Gue cuma mau bilang hidup Lo berharga jadi jangan sia-siakan hanya karena perempuan itu."
Tama menatap Arza tajam "Perempuan itu.? Dia perempuan yang Gue cinta kalau Lo perlu tahu."
"Iya Gue tahu."
"Seharusnya kalau Lo dulunya juga gak bisa merelakan Aura untuk Aldan jangan sok memberi nasehat melepaskan, seolah hidup bakalan baik-baik saja dengan mudah. Karena Lo juga tahu bagaimana rasanya."
"Tama." Kali ini Arza menatap Tama memelas.
"Gue mau kerja Ar."
Tama sedang mengusirnya secara halus dan Arza tahu itu.
"Gue tahu, gak ada yang baik-baik saja ditinggal orang yang mereka cintai. Gue cuma mau Lo bangkit, karena cuma Lo sahabat Gue." Itu yang Arza katakana sebelum benar-benar pergi.
Tama hanya menatap Arza yang mulai melangkah menjauh meninggalkan ruang kerjanya dan juga Tama sendirian. Tama tahu Arza mengkahwatirkannya tapi saat ini emosinya sedang tidak stabil setelah pertemuan mendadak dengan Aluna pagi tadi dan kini undangan cantik digenggamannya membuatnya hilang kendali emosinya.
***
Rere yang berdiri di counter casier terdiam menatap pria yang kini berjalan menujunya. Sejak membuka pintu toko Rere menahan nafasnya saat semakin mendekat Rere semakin sesak tidak dapat bernafas.
"Permisi." Rere tersentak saat sosok itu kini telah berdiri didepannya.
"Ii—iya Pak, ada yang bisa saya bantu."
Auva—sosok itu Auva menatap sekitar lalu menatap Rere kembali "Toko jam berapa tutup.?"
Rere melihat jam tangannya "Setengah jam lagi Pak."
Auva mengangguk "Saya tunggu setengah ja lagi." Auva berjalan menuju kursi yang tersisa.
Mata Rere membulat tidak percaya, apa Ia salah dengar saat sosok itu mengatakan akan menunggu usai kerja.? Atau ini hanya halusinasinya saja.? Rere berusaha menyadarkan dirinya.
Sosok itu menoleh kembali "Tolong kasih tahu karyawan lainnya, jangan pulang dulu. Ada yang ingin saya sampaikan."
Rere mengangguk dan tersenyum tipis pada sosok Auva.
KAMU SEDANG MEMBACA
SAYAP YANG PATAH [SELESAI]
ChickLitUntuk mereka yang patah hati karena terlalu menaruh harapan lebih, mencintai sebanyak-banyaknya namun hanya dalam diam. Dan akhirnya patah sendiri, terluka dengan hebatnya. Namun bukan berarti mereka tidak menginkan cinta, mereka juga ingin merasa...