7. INI BUKANLAH SEBUAH AKHIR

371 37 0
                                    

Tama menatap pantulan dirinya yang menggunakan pakaian batik dan celana bahan yang sangat rapi kini sedang mencoba tersenyum—berpura-pura. Melirik kembali jam tangannya, menghirup nafas lalu menghembuskannya.

"Jangan jadi laki-laki pengecut." Tunjuknya pada pantulan dirinya.

Tama mulai melangkahkan kakinya dengan berat.

"Sesulit inikah melepas seseorang yang dicintai." Gumamnya lalu tersenyum perih.

Cepat atau lambat, Tama yakin dia pun akan menemukan seseorang yang kan mencintainya dan pantas untuk dia cintai pula. Tama tidak akan berharap lebih pada Aluna. Aluna sudah menentukan jalannya dan Tama juga harus mengikhlaskan, mungkin memang sejak awal jalannya dan jalan Auna berbeda.

Berbeda, karena sejak awal hanya Tama yang mencintai Aluna, sedangkan Aluna tidak tahu—atau berpura-pura tidak tahu. Selama ini Tama menjadi tempat yang kan dicari Aluna saat kesusahan ataupun saat Ia kecewa. Tama selalu siap berdiri disamping Aluna kapanpun, bersedia duduk dihadapan Aluna untuk terus dapat menatap senyum milik Aluna.

Tapi akhirnya harus seperti ini.

Tama hadir diantara tamu untuk member selamat.

Bukan sebagai laki-laki yang punya tanggung jawab atas hidup Aluna selanjutnya.

Ia ingin menangis, tapi dia pria.

Ia sangat terluka, tapi dia pria dengan topeng.

Tak akan Ia biarkan seseorang tahu bagaimana hancurnya perasaannya. Ia akan membangun tembok besar yang tidak akan mudah ditembus.

Pria yang sudah terluka hatinya, harga dirinya ini tidak ingin kembali, tidak ingin menoleh kebelakang.

"Apapun yang terjadi, Lo harus tetap hadir. Ini bukanlah sebuah akhir."

Segera Tama menuju tempat itu, meskipun lambat dia tetap akan menampakkan dirinya.

***

Rere dengan pakaian batik yang sengaja Aura berikan untuknya kini duduk dibelakang Aura dan Uminya. Rere sesekali membalas senyum Aura saat menoleh padanya memberikan senyumnya. Rere hanya membuktikan pada Aura bahwa Ia baik-baik saja. Dan pada siapapun itu agar tidak ada yang tahu bahwa Ia terluka.

Rere menatap Auva yang kini menjabat tangan seorang Pria paruh baya yang diyakini sebagai calon Ayah mertua Auva. Auva yang tampak tampan gagah dibalik pakaian yang kini dikenakannya membuat Rere hampir meneteskan airmata.

Suara lantang dan tegas milik Auva membuat Rere menahan nafasnya. Rere terus saja menatap Auva seolah fokusnya hanya ada pada Auva.

Untung saja Rere tidak pernah membayangkan Auva kan menikahinya. Rere terlalu takut untuk membayangkan itu, tapi Ia juga bersyukur setidaknya dia berada diruangan yang sama menatap Auva menikahi seseorang dan itu bukan dia Ia tidak merasakan sakit yang amat dalam, jelas dia terluka tapi tidak begitu parah. Ia kini harus mampu membentengi hatinya untuk hidupnya kedepannya. Cintanya memang layu, hatinya juga terluka, sayap harapannya patah, tapi tidak dengan hidupnya, hidupnya masih menjadi miliknya. Ia masih harus terus berjuang untuk hidupnya, tidak ingin membuat kedua orang tuanya sedih.

'Hidup harus terus berjalan, ini bukan sebuah akhir untukku.' Batin Rere.

***

Tama berdiri di depan pintu mesjid baru saja Ia akan masuk namun langkahnya terhenti saat melihat Aluna yang baru saja memasuki mesjid dan tersenyum lalu duduk disamping sosok yang Tama tahu siapa—Auva.

Baru saja tadi dia mencoba menguatkan hatinya namun tidak sudah tidak sanggup saat melihat Aluna yang tersenyum menatap Auva lalu saling memakaikan cincin.

SAYAP YANG PATAH [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang