3. PERTEMUAN

467 41 0
                                    

Tama melihat keluar jendela pesawat, menatap gumpalan awan yang begitu indah dan mapu mengalihkan pikirannya sejenak. Tama sedang melarikan diri layaknya seorang pecundang.

'Ya, pencundang.' Batin Tama.

Entah apa yang membuat Tama melarikan diri seperti ini, bukannya pulang kerumah ataupun apartement Ia malah memilih penerbangan pesawat paling pagi dan disinilah kini berdiri. Disebuah kota yang pernah dikunjunginya beberapa waktu lalu dan cukup membuatnya nyaman, seolah memanggilnya untuk kembali lagi.

"Ada apa dengan kota ini." Gumam Tama.

Tama berjalan ditengah keramaian yang ada di bandara, memperhatikan sekitar Ia sebenarnya tidak sendiri. Tanpa membawa barang-barang Tama menuju salah satu hotel untuk berisitrahat sejenak.

"Pak berhenti." Pinta Tama saat melihat sebuah taman yang tidak begitu ramai.

Sopir itu melirik Tama "Iya Pak."

"Saya turun disini saja Pak." Segera Tama membayar dan keluar dari Taxi.

Langkah kakinya segera berjalan menuju seorang pedangan Bubur Ayam.

"Pak buburnya satu." "Pak satu, biasa."

Tama menoleh dan mendapati seorang gadis juga menatapnya.

Pedagang itu terkekeh "Siap, silahkan duduk."

Tama melirik gadis itu dan mulai berjalan menuju meja paling ujung, memperhatikan sekitar menyadari dari pakaian olahraga mereka Tama baru sadar hari minggu dan hanya dia yang menggunakan pakaian kantor—tanpa mandi.

"Permisi." Tama mengalihkan pandangannya dari ponsel.

Tama menaikkan alisnya seolah bertanya "..."

"Saya boleh duduk disini.?"

Tama mengerutkan dahinya lalu memperhatikan sekitar.

Belum sempat Tama menjawab sosok itu sudah duduk dihadapannya dan tersenyum polos. Tama akhirnya hanya menghela nafas.

"Bar-bar." Gumam Tama.

"Apa.?"

Tama akhirnya hanya menggeleng.

"Loh Bapak kirain Mbak Rere ndag kenal Mas ini."

"Memang gak kenal Pak." Dengan santai Rere mengambil mangkuk buburnya.

***

Rere yang sudah menghabiskan satu porsi makanannya segera melirik jam tangannya, segera bangkit dari duduknya. Menatap sosok yang sejak tadi duduk dihadapannya namun tidak padai berbasa-basi dengannya.

"Terimakasih sudah mau berbagi tempat dengan saya, akhirnya saya tidak makan disini sendirian seperti biasa." Ucap Rere berlalu menuju pedagang untuk membayar.

Belum sempat Rere mengulurkan uang sebuah suara menghentikannya "Sekalian saja Pak."

Rere menoleh dan mendapati sosok itu berdiri dengan kerennya mengulurkan uang merahnya.

"Aduh Mas uang kecil saja."

Kali ini Rere yang mengeluarkan uangnnya "Ini Pak, dua."

"Jangan Pak, ini saja."

"Udah Bapak abil ini, Mas nya bayar dengan Mbak Rere aja."

"Tap—" "Makasih Pak, makanannya enak Pak."

Rere memberikan senyum tipis dan berjalan keluar dari warung.

"Ini saya bayar bubur saya."

Rere menoleh "Tidak perlu, anggap saja impas karena sudah mau berbagi meja dengan saya."

"Kamu melukai harga diri saya. Saya tidak ingin berhutang dengan siapapun."

Rere kali ini benar-benar berhenti dan menatap "Saya tidak punya kembalian untuk kamu."

"Itu lebih baik." Rere menatap uang yang kini berada ditelepak tangannya dan sosok yang berjalan menjauh dari pandangnya.

Rere tidak pernah melihat sosok semenyebalkan ini, terlalu sombong. Dengan kesal Rere menyimpan uang itu dan mulai berjalan menuju kosnya. Jika tidak mungkin Ia akan terlabat ke toko, hari libur seperti ini pelanggan sangat banyak.

"Dia gak mau berhutang dengan aku, tapi jadinya aku yang berhutang dengan dia kalau gini ceritanya." Gerutu Rere.

Rere segera mandi dan bersiap menuju Toko.

***

Tama membuka perlahan matanya, mendapat cahaya yang cukup silau Ia meletakkan lengannya di wajahnya.

"Kosong." Gumamnya.

Drrt.

Tama membaca sebuah pesan yang dikirim oleh Ibunya 'Libur gini kamu masih kerja juga.?'

Segera Tama mematikan ponselnya dan kembali memejamkan matanya.

"Apa liburan Gue cumin dihabiskan rebahan di hotel gini.?" Gumamnya.

Dengan perlahan Ia mengambil barang belanjaan yang Ia beli sebelum sampai ke Hotel—pakaian baru.

"Lapar." Tama tahu saat ini sudah sore hari. Dan tiba-tiba saja Ia ingin mengunjungi Toko kue milik istri bos sekaligus sahabatnya itu.

Tama sudah segar, kembali dengan pakaian santainya Ia keluar dari kamar hotel menuju toko Aura sebelum jalan-jalan ketempat lainnya.

"Sudah terlalu lama sendiri...." Tama segera menoleh mendapati pengamen jalanan yang kini memetik gitarnya dengan sinis.

Bukan, bukan masalah siapa yang bernyanyi, tapi kenapa harus lagu itu. Apa Ia sedang diolok-olok? dari sekian banyak lagu kenapa harus lagu itu yang membuatnya merasa tersindir. Tama berusaha mengabaikan suara itu, kembali berjalan santai menuju tempat tujuan.

Tama selama ini hanya membuka mata dan hatinya untuk Aluna seorang, rotasinya selama ini hanya Aluna, apapun yang dilakukannya selalu ada ingatan tentang Aluna. Tama pun merasa bingun sekuat apa mantra yang dimiliki Aluna hingga Ia bisa bertekuk lutut seperti ini, menjadi budak cintanya Aluna.

***

"Selamat Siang ada yang bisa diban—." Rere terdiam saat melihat sosok dihadapannya.

Ia mengerjab bingung, bukankan pria yang tadi pagi Ia temui.?

Sosok itu menaikkan alisnya saat menatap Rere "Ehem, saya mau kue best seller disini. Bisa kau rekomendasikan.?"

Rere segera tersadar dan mulai kembali focus bekerja. Ia mengeluarkan buku menu dan memberikan beberapa pilihan kue yang direkomendasikannya untuk pria itu.

"Atas nama siapa.?" Tanya Rere.

"Tama."

"Baik Pak Tama."

Tama menerima bill dan berjalan menuju lantai dua.

"Tunggu." Tama menoleh dan mendapati Rere yang sedang mengeluarkan uang dari sakunya.

Tama menaikkan alisnya bingung "..."

Rere keluar dari counter casier dan mendekat "Saya tidak ingin berhutang dengan siapapun."

Tama tersenyum tipis menatap punggung Rere yang kini sudah berjalan menjauh. Ia tidak menyangka ada seorang gadis yang bisa membalikkan perkataannya. Tak ambil pusing Tama menaiki lantai dua untuk menikmati sore di toko Aura bersama pemandangan kota juga aroma kue yang begitu menggoda. Mungkin tempat ini bisa menjadi salah satu tempat yang akan sering dikunjunginya saat berkunjung ke kota ini.

Tama membutuhkan sesuatu yang bisa mengalihkan pikirannya.

Dan disini Ia mampu mengalihkan pikirannya dan hatinya; walau hanya sementara.

***

12/09/2019
Sorry for typo

SAYAP YANG PATAH [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang