14. Subuh Hangat

13.6K 892 56
                                    

Bara Hadrian
Ta, gue demam deh kayaknya.
Belum makan, belum minum obat.
Sini lo, tanggung jawab.

Tata mendesah panjang saat menerima pesan itu dari Bara. Tidak mungkin dia jengkel sekarang, karena Tata memang harus bertanggung jawab. Bayangkan kalau tidak ada Bara, pasti kepala Tata sudah bocor seperti Imam. Batu itu sangat tajam, sampai membentuk luka memanjang di punggung Bara. Tata yakin, dia tidak akan selamat jika batu itu mengenai kepalanya.

Setelah membersihkan luka Bara, Tata membawa pria itu pulang menggunakan taksi online setelah keadaannya memungkinkan. Sementara motor Bara diantarkan oleh Boncel, itu yang Tata dengar namanya. Tawuran benar-benar berakhir saat menjelang maghrib, itu juga harus mengerahkan anggota kepolisian terdekat. Korbannya tidak sedikit, luka Bara dan Imam tidak seberapa dibandingkan dengan mereka yang tergeletak di jalanan. Tata sampai bergidik ngeri ketika tidak sengaja melihat ke luar jendela mobil.

Begitu sampai di rumah Bara, seperti yang bisa dipastikan, Bu Lia menangis saat mendengar cerita Tata. Tapi tidak sekalipun wanita cantik itu menyalahkan Tata. Beliau malah berkata bahwa sudah tugas laki-laki untuk menjaga kaum wanita. Beliau bangga dengan putranya. Bara juga meminta nomor Tata. Katanya, takut Tata lepas tanggung jawab dan kabur. Padahal rumah mereka berseberangan, kesannya Tata bukan gadis baik-baik.

Tapi akhirnya, di sinilah Tata, di rumah Bara. Setelah menggunakan sweater dengan setelan baju tidur seadanya, Tata pergi juga ke seberang jalan. Dia tersenyum saat mendapati Bu Lia baru saja turun dari lantai dua dengan nampan di tangannya. “Kak Bara belum makan katanya ya, Tan?”

Bu Lia mengernyit, kemudian mengangkat nampan itu sedikit. “Ini bekas makan Bara, baru beres. Kamu ke sini buat nanyain itu?”

Senyum tulus Tata berubah menjadi kecut. Sial, dia dikerjai. “Kak Bara barusan kirim chat sama Tata, katanya belum makan, minta Tata kesini. Tahunya udah makan,” Tata menatap tajam pintu kamar Bara yang terbuka. Rasanya, dia ingin memaki. “Kalau gitu, Tata pamit pulang ya, Tan?”

Baru saja Tata hendak pergi dari sana, teriakan menggelegar dari lantai dua terdengar. “Bu, ada Tata, ya?” teriak Bara dari kamarnya. Aneh, tahu dari mana pria itu bahwa Tata ada disana? Perasaan, Tata dan Bu Lia mengobrol tidak dengan teriak-teriak. “Sini, Ta, tolongin gue!”

Kelakuan Bara yang satu ini benar-benar sesuatu yang segar di rumah keluarga Hadrian. Biasanya rumah itu tampak sepi, paling ramai kalau Bu Lia sedang nonton acara gosip atau ketika dua sahabat Bara menginap di sana. Itu juga ramai karena ulah Rigel dan Ares yang tidak pernah bisa diam, bukan karena ulah Bara. Tapi kali ini, sekali ini, Bara berteriak untuk menanyakan kehadiran Tata di rumahnya.

Bu Lia geleng-geleng kepala. “Udah, naik sana. Anggap aja rumah sendiri, nggak usah sungkan.” Baru saja Tata hendak menolak, meminta izin untuk pulang saja, tapi Bu Lia sudah berlalu menuju dapur.

Entah sudah keberapa kali Tata menghembuskan nafas panjang karena Bara hari ini. Sepertinya pria itu memang sengaja ingin mengerjai Tata. Perkataan Odit yang menyebutkan bahwa Bara bukan tipikal orang yang pendendam, sepertinya salah besar. Kenyataannya, Tata terjebak di sini karena Bara. Tapi Tata tetap naik ke lantai dua, melewati dua pintu yang ada di sana hingga akhirnya ada di ujung, di depan kamar Bara. Lihatlah pria itu, sedang bergelut dengan buku. Katanya demam!

“Minta tolong apaan?” tanya Tata dengan malas. Dia sudah bersandar ke daun pintu, melipat kedua tangannya di depan dada. Mungkin terbilang jarang Tata seperti itu.

Bara menunjuk nakas yang ada di samping ranjang. “Bawain gue penghapus itu.”

Demi perseteruan negara air dan negara api di salah satu kartun paling laris di dunia, Tata sangat ingin memukul Bara saat ini! Kalau bisa, Tata ingin memukul tepat di punggung pria itu. Tidak perlu mengangkat bokong, tidak akan keluar tenaga banyak, Bara akan sangat dengan mudah mendapatkan penghapus itu. Tapi mungkin niatnya memang mengerjai Tata. Berteriak kencang dari lantai dua, hanya ingin Tata yang mengambilnya.

Jurnal Tentang Kamu [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang