A'SD70

137 20 4
                                    

ALICE

Aku mulai menutup mataku dengan perlahan.

Dengan berangsur-angsur aku mengingat semua yang terjadi.

Kota yang terbengkalai, buku harian, catatan, jiwa yang hilang, gambaran, orang yang menulis di buku catatanku, tawaran yang menggiurkan, jawabanku tentang tawaran itu, dan juga Jax.

Aku mulai membuka mataku dengan perlahan. Air mataku mulai menetes saat aku menyadari di mana keberadaanku sekarang.

Hujan turun dengan lebat. Bus yang ku tumpangi saat ini melaju dengan kencang. Aku masih memakai seragam sekolah lengkap, aku hanya diam dan duduk di dekat jendela. Ini adalah pemandangan malam itu. Pada malam kecelakaan itu...

Yang diinginkan oleh diriku yang berusia 16 tahun pada malam itu hanyalah pulang dengan selamat, memeluk orang tuanya, bermain dengan saudara-saudaranya, dan makan malam bersama keluarganya.

Diriku yang berusia 16 tahun tidak pernah membayangkan apa yang akan terjadi sepulang sekolah itu. Ia tidak pernah mengira bahwa itu adalah jalan buntu. Bahwa itu akan menjadi akhir dari perjalanan hidupnya.

Aku melihat ke sekeliling bus ini. Aku bahkan masih bisa mengenali beberapa wajah dari mereka. Dan kebanyakan dari mereka... meninggal. Dan pandanganku selanjutnya tertuju pada 6 orang berkulit hitam yang ada di barisan kursi depan. itu dia. Itu mereka. Mereka adalah perampok. Mereka menyimpan senjata di dalam tas mereka. mereka akan membajak bus ini setelah halte berikutnya.

Sial.

Ini akan segera dimulai. Kita sudah tiba di pemberhentian halte berikutnya.

Terdapat banyak penumpang dari halte ini.

Jantungku berdetak kencang saat aku melihat para penumpang-penumpang itu masuk. Tanganku gemetaran. Aku berkeringat, bahkan kedinginan.

Tapi jantungku berdetak lebih kencang lagi saat aku melihat pria itu. Pria yang mengenakan seragam sekolah itu. Ia masuk dan segera mencari kursi kosong.

Jacques Baltazar.

Ya. Pria itu adalah Jax.

Pria yang membuat peluru kedua yang seharusnya mengenaiku, malah mengenai dirinya.

Orang yang menderita karenaku.

Aku benar-benar ingin memukulnya sekeras mungkin. Ia begitu baik padaku. Bahkan sangat baik. Aku ingin dia menjadi temanku lebih lama lagi. Saya ingin memeluknya lagi.

Sangat banyak yang ingin kulakukan bersamanya, tapi aku kesal karena itu sama sekali tidak mungkin.

Apakah Kau bersedia mengakhiri semuanya malam itu?

Aku berusaha menelan ludah dengan susah payah. Aku harus mengakhiri semua ini.

Aku akan melakukannya.

Aku tidak peduli tentang Jax yang duduk di sampingku. Aku tidak peduli Jax yang sedari tadi menatap wajahku. Aku hanya serius memikirkan bagaimana cara menyelesaikan semua ini.

Aku mulai memikirkan sesuatu. Dengan cepat aku mengambil ponsel dari dalam tasku dan segera menelepon Bunda. Tak lama menunggu, Bunda akhirnya menjawab telponku.

"Bun, ada perampok dalam bus yang Alice tumpangi, mereka udah ngebajak bus ini, mereka mau ngebunuh Alice dan semua penumpang yang ada di dalam bus ini, tolong telpon polisi dan ambulans Bun." tanganku gemetaran dan aku menangis. Aku harus menyelesaikan semua ini.

Aku harus tenang. Tapi semakin keras aku mencoba untuk menenangkan diri, semakin banyak air mata  yang membasahi pipiku. Dan itu membuat Jax kebingungan saat melihatku.

"Apa?! Alice kamu lagi dimana nak? bus apa yang kamu tumpangi?!" Tanya Bunda dari sebrang sana. Dan lagi-lagi air mataku jatuh.

"Bus ini berada di jalur tujuh, warnanya putih, trus sekarang bus ini lagi lewat di jembatan besar." Jawabku lengkap dan sangat detail.

Jantungku berdegup sangat cepat.

Dan aku masih belum bisa berhenti menangis.

"Apa pun yang terjadi, Bunda harus tau kalau Alice itu sayang banget sama Bunda, Alice juga sayang sama Ayah, Marel, sama Luna juga. Maafin semu-" Belum sempat menyelesaikan perkataanku, Bunda segera memotongnya.

"Maksud kamu apa Alice? Jangan ngomong sembarangan kayak gitu, Bunda gak suka!" Jawab Bunda.

"Lun, tolong telpon kantor polisi. Marel ikut sama Bunda buat cari kakak!" Ucap Bunda dari sebrang sana dan setelah itu sambungan teleponnya terputus.

Aku sangat takut. Penumpang lain bahkan sampai menatapku keheranan.

"Kamu gak pa-pa?" tanya Jax. Dan saat itu juga tangisanku mulai menjadi-jadi.

Jax, mengapa kau baru mengenalku sekarang? mengapa kita baru diizinkan untuk bertemu di dunia nyata sekarang?

"Jax, aku takut." Ucapku sembari menangis sesegukkan.

Matanya seketika melebar. "Kok kamu bisa tahu nama aku?" tanyanya kebingungan.

Aku menangis. Aku menangis karena Jax tidak lagi mengenalku. Dan sepertinya Jax memang tidak akan pernah mengenalku lagi.

"Ceritanya panjang." Jawabku. Ini adalah pertama dan terakhir kalinya Aku dan Jax bertemu di dunia nyata.

"Bisa gak, gue meluk lo?" Tiba-tiba saja kata-kata itu keluar dari mulutku begitu saja.

Dan tiba-tiba saja wajahnya memerah.

Sial. Tidak ada waktu. Sekarang atau tidak sama sekali!

Aku tidak menunggu jawabannya. Aku dengan cepat memeluknya. Aku memeluknya dengan sangat erat seakan-akan tidak ingin melepaskannya.

Aku mengeluarkan semua tangisanku yang ku tahan sejak tadi.

Aku merasakan telapak tangannya yang hangat itu mengelus kepalaku dengan begitu lembut. Aku sangat sedih.

"Jax, kenapa semuanya terjadi?" Ucapku dengan susah payah. Aku terisak.

Jax perlahan membalas memelukku dengan erat.

Hah?

Aku melepaskan pelukannya dan mendapatinya sedang menangis.

"K-kok..." Ucapku terkejut. Kenapa dia menangis?

"Alice..."

Mataku seketika membulat.

"Lo ingat gue?"

Dia berbalik dan melihat ke sekeliling bus ini.

"Sial." ucapnya. Rupanya sekarang dia mengerti bahwa kejadian itu terulang lagi.

"Jax, lo inget gue juga?" Ucapku. Aku bahkan tidak bisa bernapas lagi.

Ia berbalik dan menatapku dengan serius. Jax perlahan mengangguk, lalu kembali memelukku.

"Gue kangen." Ucapnya. Pelukan ini mengirim campuran emosi. Kerinduan. Dan rasa sakit.

Jax.

Aku akan sangat merindukanmu.

Aku melepas pelukannya. Tapi Jax. Dia menggelengkan kepalanya, lalu kembali memelukku.

"Jax..." panggilku.

Jax melepas pelukannya. "Kok kita bisa kembali ke sini?" Bisiknya.

"Gue harus ngerubah semuanya."

Setelah menjawab pertanyaan Jax. Tiba-tiba saja terdengar bunyi pistol dan diikuti dengan teriakan histeris dari para penumpang.

"Diam kalian semua atau kalian akan mati!" Bentak salah satu dari keenam perampok itu sembari mengangkat senjatanya.

Saat itu juga Jax dengan cepat menyembunyikanku di belakangnya. Tidak. Ini tidak benar. Kejadian itu tidak bisa terulang lagi. Jax harus tetap hidup.

Apakah kau bersedia memperbaikinya? apakah kau mau mengakhiri malam itu?

Aku harus mengakhiri semua ini. Aku harus melakukan sesuatu.

Ya. aku harus melakukan sesuatu. Apapun itu.

To Be Continued...

ALICE'S DAIRYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang