Chapter 8

2.2K 402 34
                                    

Sister.

.

Aku sudah pernah bercerita bahwa aku tidak nyaman dengan suasana canggung. Aku membenci hal itu. Namun kini, sialnya aku malah terjebak dalam suasana yang aku benci itu. Salahkan lidahku yang kelu untuk berbicara, salahkan jantungku yang berdegup tak karuan.

Setelah adegan ciuman dalam diatas jembatan, Taehyung mengajakku pulang dengan alasan ia masih harus berkemas dan acara penerbangan lampion sudah selesai. Ia bersikap biasa saja, seolah-olah ciuman kami beberapa menit lalu adalah angin yang lewat datang dan pergi begitu saja.

Mendadak aku ingin menjadi psikopat dan menghabisi Taehyung dengan pisau daging sambil tertawa tidak jelas. Ya Tuhan, itu adalah ciuman pertamaku!!

Baik. Oke, tarik napas, hembuskan. Tarik napas, hembuskan. Jangan sampai aku kalap dan membunuh Taehyung disini, didalam mobilnya. Nanti yang ada malah kami mati berdua, tidak elit sekali. Aku yakin Taehyung yang tampan itu ingin sesuatu yang bagus untuk alasan kematiannya.

Jadi ketika kami berada di jalan raya, saat lampu lalu lintas berubah menjadi merah, aku melepaskan seatbelt, bangkit dan menarik rambutnya anarkis.

"Sialan kau bajingan!! Itu ciuman pertamaku keparat!!" Aku mengomel sambil menarik-narik rambutnya.

Taehyung berteriak kesakitan, "Astaga Vylan!! Maafkan aku!!" Ia berusaha meraih tanganku yang menarik rambutnya agar dilepaskan. "Hei jelek, lepaskan bodoh! Kau mau aku botak ya?"

Maaf Taehyung, tapi aku mendadak tuli.

Semakin ia berusaha melepaskan tanganku dari kepalanya, maka semakin kuat aku menariknya. Bahkan sekarang aku bisa merasakan ada beberapa helai yang tercabut sampai akarnya.

Apa yang novel romansa jabarkan tentang wanita yang tidak sekuat pria itu tidak sepenuhnya benar. Buktinya sampai kini Taehyung belum mampu melepaskan tanganku dari kepalanya. Hingga tiga puluh detik sebelum lampu lalu lintas berubah menjadi hijau, aku melepaskan tanganku dari kepalanya, dan membersihkan helaian rambut Taehyung yang tercabut dari sana.

Taehyung menatapku sengit, bukankah disini harusnya aku ya yang marah.

"Wah, serius kau benar-benar berniat membuatku botak." Ia mengomel, Aku berdecak.

"Kau sudah mencuri ciuman pertamaku. Helai rambutmu itu bahkan tak seberapa."

Taehyung terkekeh. "Jadi, kau ingin aku mengembalikannya?"

Aku tak paham, sementara Taehyung malah tersenyum asimetris dan malah menjadi sedikit menyeramkan, "Hah?"

Taehyung melpaskan seatbelt-nya dan mendekat ke arahku. Perlakuannya yang tiba-tiba ini membuatku tersentak kebelakang hingga aku benar-benar menempel pada kaca dibelakangku. Sial, aku terjebak diantara pintu mobil dan lengannya yang mengukungku.

"H-hei apa yang kau lakukan, sialan!"

"Kau bilang aku mencuri ciuman pertamamu, jadi aku mau mengembalikannya."

Ini sih sialan sekali, aku sudah berusaha mendorong tubuhnya menjauh dariku. Bukannya menjauh ia malah makin merapatkan tubuhnya padaku. Ujung hidung kami sudah bersentuhan, hembusan napasnya bahkan terasa menampar wajahku. Enggan menatap matanya yang tengah menatapku, aku melarikan pandangan dan menilik lampu lalu lintas lewat ekor mataku.

"Ta-taehyung, lampunya sudah hijau."

Menjauhkan tubuh, ia mulai menjalankan mobilnya, meliriku sambil tertawa ia berujar. "Wah sayang sekali ya, lampunya sudah hijau. Jadi, aku kembalikannya lain kali saja ya? Mau kan?"

Sialan Taehyung.

***

Tadi Taehyung mengantarkanku pulang hingga depan pagar. Dia bahkan rela keluar mobil hanya untuk menggodaku habis-habisan, membuat jantungku berdebar dengan wajah yang memerah.

Bajingan sialan itu menyebalkan sekali.

"Aku pulang." Aku berseru pelan, meletakkan sepatu dengan perlahan.

Ini masih jam sepuluh malam, aku tidak tahu apakah ayah dan ibu sudah tidur atau belum. Jadi melangkah pelan menuju ruang tamu, aku mendengar tawa ayah dan ibu yang begitu lepas, suatu hal yang tak pernah aku temui di tahun-tahun ini. Mempercepat langkah aku menjumpai presensi yang telah lama tak dilihat mata.

Ah, aku hampir lupa menceritakan tokoh sinting lain dalam keluarga ini.

Wanita itu, kakak perempuanku, Kang Luna.

Wanita yang dua tahun lalu kabur dari rumah. Aku bahkan masih ingat ibu yang menjadikan aku pelampiasan kemarahan mereka karena Luna kabur membawa semua uang ayah dan ibu. Kini wanita itu duduk diantara mereka dengan kehangatan dan kasih sayang yang tak pernah aku dapatkan. Hebat sekali.

"Oh! Vylan! Adik ku sayang, kau sudah pulang bekerja? Tidak berniat memberi sambutan pada kakakmu yang baru tiba?" Ia berseru riang, memanggilku agar bergabung bersamanya disana. Untuk apa? Untuk menunjukan bahwa ia lebih disayang dari pada aku?

Masih belum beranjak, aku masih diam ditempatku berpijak hingga ibu dengan nada bicara malasnya memanggilku. Sementara ayah, pria itu hanya menatapku dalam diam.

"Kau tidak dengar jika kakakmu memanggilmu?"

Persetan, malas menatap tiga insan yang asik melepas rindu itu aku melengos menuju kamarku, enggan menatap mereka membanting pintu sebelum aku mendengar ibu yang berteriak padaku.

Membaringkan tubuhku diatas ranjang menarik selimut hingga menutupi kepalaku, aku menangis. Menenggelamkan kepala pada permukaan bantal untuk meredamkan tangisan.

Suara tawa ayah, ibu, dan Luna hanya samar-samar terdengar. Aku tidak suka sendirian, jadi meraih ponsel aku membuka kontak Taehyung yang tidak pernah aku hubungi.

Aku menghubunginya.

"Wah, kau menghubungiku ada apa? Rindu padaku ya? Padahal aku baru saja sampai dirumah."

Aku terkekeh.

"Hah? Yang benar saja. Aku hanya ingin."

"Kau ingin karena sedang merindukanku, kau jatuh cinta padaku ya? Tapi, hei! Ada apa dengan suaramu?"

"Tidak ada apa-apa. Taeh-"

Aku langsung mengakhiri panggilan ketika mendengar pintu kamarku dibanting kasar. Bangkit memasukan ponsel pada saku celana, aku melihat ibu masuk dengan gelam ditangannya.

Malam ini benar-benar sangat panjang.
[]

Lith 💜
20 September 2019

HiraethTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang