Chapter 3. Alfan

3.6K 405 76
                                    

Alfan sama sekali tidak mempunyai ide.

Mata hitamnya melirik pada sosok di sampingnya. Bagas duduk dengan sangat manis di sana; di sebelahnya yang tengah mengendarai Range Rover hitam kesayangannya.

Tapi sesuatu mulai mengganggu sosok yang bulan lalu masuk ke dalam jajaran pebisnis termuda paling sukses di sebuah majalah terkenal itu.

Ini adalah kali pertama ketika Bagas terdiam tanpa senyum di wajahnya. Biasanya bocah yang-sekarang bukan-bocah itu selalu memasang wajah senang atau semacamnya ketika ia menjemputnya seperti ini. Bagas akan memberikan senyuman manisnya hingga terkadang membuat Alfan ingin lepas kendali di tempat yang tidak seharusnya.

Hari ini ketika Alfan menjemput Bagas seperti biasa di kampus, bocah itu hanya memasang senyum yang bahkan tidak bertahan lebih dari dua detik ketika ia datang. Walau Bagas mengikutinya untuk pulang setelah berpamitan dengan orang-orang di sana, tapi sosok itu sama sekali tidak bersuara hingga memasuki mobilnya bahkan sampai detik ini.

Alfan merasa bingung, kali ini ia tidak bisa membaca Bagas.

Pemikiran bahwa mungkin Bagas sedang lelah atau sakit mulai memenuhi pikirannya. Akhir-akhir ini bocah itu terjaga hingga larut malam karena mengerjakan tugas kuliahnya. Alfan sangat paham. Ia pernah mengalami semua itu tapi pada akhirnya ia tidak bisa untuk tidak mengutuk tugas-tugas tersebut hingga kampus juga para dosen karena sudah membuat little B-nya seperti ini.

Alfan mendengus.

Ketika mobilnya sampai pada basement apartment, Alfan keluar dari balik kemudi dan menuju kepada Bagas yang hanya membuatnya cukup kaget ketika sosok itu turun lebih dulu. Biasanya bocah itu akan menunggu Alfan dengan sangat manis di atas kursinya untuk membuka pintu mobil dan mengucapkan terima kasih dengan cara yang tidak kalah manis.

Bukan karena Bagas adalah sosok yang manja karena harus menunggu seseorang untuk membukakan pintu tapi Alfan memang menyuruh Bagas untuk selalu menunggunya karena itu adalah keinginannya sendiri untuk memanjakan dan memperlakukan bocah itu dengan segenap hatinya dan ia bersyukur ketika akhirnya Bagas terbiasa dengan hal itu.

Tapi hari ini mungkin adalah sebuah pengecualian. Walau masih merasa terkejut, Alfan berusaha untuk mengerti apalagi ketika melihat wajah Bagas yang terlihat sedikit pucat.

Kaki jenjangnya segera menyongsong Bagas dan melayangkan tatapan khawatir pada sosok itu. Tangan besarnya terangkat untuk menjangkau wajah Bagas dan menempatkan telapak tangannya di masing-masing pipi gembul bocah itu.

"Bagas sakit?" Tanyanya dan sebuah gelengan kepala hanya Alfan dapatkan.

"Bagas capek?" Tanyanya lagi dan kali ini, Alfan mendapatkan sebuah anggukan kepala.

Diam-diam Alfan membuang nafasnya dengan sedikit rasa frustasi. Ia tidak menyukai ketika Bagas terlalu banyak diam seperti ini. Walau biasanya bocah itu tidak terlalu banyak bicara, keterdiaman Bagas kali ini terasa begitu aneh dan ganjil untuk Alfan.

Tapi CEO muda itu mencoba untuk berpikir kembali bahwa mungkin kondisi Bagas memang tengah lelah dan capek di samping ia merasa senang ketika mengetahui bahwa sosok itu tidak sedang dalam keadaan sakit. Maka dari itu, ia menggandeng tangan mungil Bagas untuk menyusuri koridor basement dan menuju pintu lift. Ia tersenyum saat Bagas tidak menolak sentuhannya.

Bagas langsung menuju kamar ketika mereka sampai di apartment dan Alfan membiarkannya saja. Bocah itu perlu untuk membersihkan diri, begitu juga dirinya. Tapi alih-alih membersihkan dirinya, Alfan lebih memilih untuk mengendurkan dasinya dan melepas jas mahalnya. Kedua kakinya berjalan menuju dapur dan membuka lemari pendingin untuk mendapatkan air putih.

When Love Happens Pt. 2 [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang