Chapter 1. Alfan

6.3K 501 70
                                    

Alfan bernafas dengan sangat berat. Ia merasa kesulitan untuk melakukan hal itu. Ditambah ia merasa sedikit kesal saat Bagas tidak kunjung datang. Sosok itu berkata akan kembali dalam waktu sebentar tapi ternyata bocah itu pergi selama ini.

Detik selanjutnya Alfan mendengus keras. Ia seperti seseorang yang tengah merajuk. Salahkan demamnya yang tidak kunjung reda dan Bagas yang sedari tadi bolak-balik meninggalkannya, padahal seharusnya bocah itu menemaninya di sini.

Sekali lagi Alfan mendengus dengan keras ketika pintu kamar terbuka dan menampilkan Bagas di sana. Ingin sekali rasanya ia bangun untuk menyambut kedatangan bocah itu dan membawanya ke dalam pelukan. Tapi Alfan tidak bisa melakukannya. Kepalanya terlalu sakit untuk sekedar bergerak. Alfan diam-diam mendesah, ia merasa gagal untuk terlihat keren di mata Bagas.

Ia hanya bisa melirik Bagas yang membawa nampan yang di atasnya terdapat satu gelas air putih dan sebuah mangkok yang berisi bubur dengan kepulan asap di atasnya.

Bocah itu memasak?

Alfan hampir membuka mulutnya saat dengan sangat manis, Bagas duduk di sampingnya lalu tersenyum padanya. Alfan pun tidak tahan untuk membalas senyuman itu walau kemudian ekspresi khawatir Bagas muncul di wajahnya. Mungkin wajah tersenyum Alfan terlihat mengerikan saat ini.

"Alfan makan dulu, Bagas bikin bubur." Cicitnya dan Alfan merasakan perasaan hangat di dalam hatinya ketika mendengar hal itu. Senyumannya hanya semakin melebar ketika melihat rona kemerahan di pipi gempal Bagas.

Bagas membantunya untuk duduk dan bersandar di tempat tidur. Lalu bocah itu membawa mangkok berwarna putih tersebut kepadanya dan meniup bubur yang telah disendoknya. Alfan hanya tidak akan melewatkan pemandangan itu.

Bagas sempat berkata padanya bahwa hari ini kelasnya mengadakan kuis dan sepertinya bocah itu melewatkan kuis tersebut hanya untuk merawatnya. Alfan menghela nafasnya. Itu semua tidak akan terjadi jika saja ia tidak terserang demam semalam.

Jika dipikir kembali, Alfan hanya sungguh sangat egois dengan menahan Bagas seperti itu. Bocah itu bahkan mempunyai sesuatu yang penting; yang seharusnya tidak boleh ditinggalkan; yang tidak seharusnya dikorbanan hanya untuk merawatnya seperti ini.

Lalu Alfan pun tersenyum kecut. Apa yang sebenarnya ia pikirkan? Alfan sama sekali bukan seorang bocah yang harus dirawat ketika sakit. Ia bisa merawat dirinya sendiri. Tidak seharusnya ia menahan Bagas untuk tetap berada di sampingnya seperti ini.

Alfan merasa bahwa janjinya kepada Ayah Bagas tidak bisa ia tepati jika ia bertingkah seperti ini.

"Alfan bisa nyuap sendiri, lebih baik Bagas tetap pergi ke kampus." Ia berkata di tengah nafasnya yang berat. "Kuisnya penting kan?" Tanyanya sembari mengangkat jemarinya untuk menggapai pipi milik Bagas.

"Supir bakal anter Bagas." Tukasnya.

Kemudian Alfan merasa heran saat Bagas terdiam. Bocah itu seperti tengah memperhatikan bubur yang tadi telah disendoknya. Pun Alfan tidak bisa membaca ekspresi di wajah Bagas.

Ketika akhirnya Alfan ingin menggapai dagu itu, Bagas lebih dulu mengangkat kepalanya. Ia sedikit terkejut saat melihat ekspresi antara marah, kecewa dan sedih yang terpampang jelas di wajah itu.

"Bagas nggak bisa ngebiarin Alfan sendirian." katanya.

"Kalo pun Alfan bisa ngerawat diri sendiri, tapi Bagas juga pengen bantu. Bagas pengen ada di samping Alfan kalo Alfan butuh bantuan." Lanjutnya dan membuat Alfan terpana.

"Alfan juga penting buat Bagas." Tukasnya.

Kali ini Alfan tertegun.

Kata-kata itu tidak pernah sekalipun untuk terucap dari seorang Bagas Dirgantara bahkan di bayangan Alfan sekalipun. Tapi di samping itu, Alfan lebih terkejut saat ia merasakan bahwa tubuhnya berdesir secara hangat dan menyenangkan saat Bagas mengucapkan kata-kata itu.

When Love Happens Pt. 2 [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang