Chapter 17. Special Chapter (2)

2.7K 265 51
                                        

Alfan duduk bersandar pada sandaran sofa berwarna seputih kapas itu. Tangan kanannya terangkat di samping tubuhnya dan terjulur pada sandaran sofa. Kedua kakinya yang panjang terlipat. Tatapannya mengarah ke depan dengan seringai yang hampir tidak terlihat pada bibir jokernya.

Alfan Prasetya sangat menikmati pemandangan di hadapannya.

Bagas berada di sana; di hadapannya dengan penampilan yang membuat Alfan berusaha sekuat tenaga untuk tidak merangsek maju dan menyerang mahkluk menggemaskan itu.

Kedua mata hitam milik Alfan menelusuri semua lekuk tubuh milik Bagas dan ia memastikan bahwa tidak ada satupun bagian dari tubuh Bagas yang terlewat dari tatapannya. Alfan melihat Bagas dari atas kepala hingga ke ujung jari-jari kakinya yang telanjang.

Bagas berdiri di hadapannya hanya dengan memakai sweater milik Alfan yang berwarna mint.

Sweater itu tentu saja terlihat kebesaran untuk tubuh Bagas yang jauh lebih kecil dari Alfan. Bahkan sweater itu menenggelamkan tangan-tangan milik Bagas. Panjang sweater itu sendiri mampu menutupi setengah dari kedua paha milik Bagas. Namun sebagian leher dan pundak milik Bagas juga terekspos di depan mata Alfan.

Bagas masih terasa begitu mungil bagi Alfan walaupun bocah itu sudah memasuki masa kuliah sejak satu tahun yang lalu. Bagas memang mempunyai postur badan yang lebih kecil dari bocah seumurannya. Bagas memang lebih menuruni paras dan gen Ibunya. Alfan mengingat dengan jelas saat petugas yang bertugas untuk mengantarkan makanan pada mereka beranggapan bahwa Bagas masih duduk di bangku SMA.

Namun hal itu tidak pernah sekalipun menjadi masalah bagi Alfan. Bagas terasa menggemaskan dengan caranya sendiri.

Hal yang paling menarik di antara semua itu adalah ekspresi yang tengah Bagas tampilkan sekarang.

Alfan hampir melebarkan seringainya saat melihat ekspresi kesulitan pada wajah Bagas sekarang. Entah kenapa, ia menyukai ekspresi yang ditampilkan bocah itu. Alfan merasa bahwa hanya dirinya yang bisa membuat Bagas berada dalam posisi seperti ini dan menampilkan ekspresi seperti itu.

"Kenapa Alfan ngelakuin itu?"

Bagas bertanya di sana. Kedua tangannya menarik ujung sweater mint itu untuk tetap menutupi pahanya yang mana hanya sia-sia untuk dilakukan. Hamparan kulit berwarna putih dan lembut itu telah terpampang di hadapan Alfan.

"Alfan ngelakuin apa?" Alfan memilih bertanya dengan kedua alis yang terangkat. Ia hampir mendengus dengan penuh kegelian saat menemukan bahwa ini semua terasa sangat menyenangkan untuknya.

Alfan menyisir rambutnya ke belakang saat angin berhembus dan menerbangkan rambutnya. Angin Maldives selalu terasa menyejukkan. Ia tidak pernah bosan untuk pergi ke tempat itu. Ini adalah kunjungan Alfan yang kesekian kalinya. Apalagi kunjungannya kali ini adalah bersama dengan Bagas. Itu menjadi terasa lebih menyenangkan dan terasa lebih istimewa.

Kali ini Alfan mengangkat tangan kanannya ke depan; kepada Bagas. Bibirnya membentuk sebuah senyuman dengan pandangan yang tidak terlepas pada Bagas. Dan ketika bocah itu tidak menolaknya dan bergerak mendekat dengan gestur canggungnya, Alfan merasa lega.

Bagas mengulurkan tangan kirinya dan Alfan tidak bisa menahan diri untuk melebarkan senyuman pada bibirnya saat kedua matanya menangkap benda yang melingkar pada jari manis milik Bagas. Alfan menerima uluran tangan itu kemudian membawanya pada mulutnya sendiri untuk menciumnya; tepat pada punggung tangan milik Bagas.

"Bagas marah?"

Alfan memerhatikan ekspresi milik Bagas. Semua ekspresi yang Bagas miliki selalu terasa menarik bagi Alfan. Ia mendengus saat Bagas menampilkan ekspresi tidak terima pada wajahnya. Itu terlihat sangat menggemaskan.

When Love Happens Pt. 2 [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang