Apart

46 3 0
                                    

"And then I smiled at him as if I'd never shed a tear for him."

****

Pukul sembilan lewat lima menit, Arky berjalan gontai masuk ke dalam rumahnya. Ia memakai kaus hitam dan joger milik Alde. Ransel yang biasa ia bawa ke sekolah bertengger di punggungnya.

Melihat anak laki-lakinya yang belum pulang berminggu-minggu ke rumah dan tidak mendengar kabarnya selama itu pula, Elfita yang awalnya sedang duduk membaca majalah di ruang tamu langsung terkesiap.

Seakan Elfita transparan, Arky berlalu menaiki tangga tanpa menyapa ibunya itu sama sekali. Mendapati hal itu, Elfita geram dan berdiri dari duduknya — menghampiri anak laki-lakinya.

"Arky! Kemana aja kamu?!" Elfita mencekal bisep Arky.

Arky menghentikan langkahnya, ia menghela nafas malas. Sebenarnya mudah saja melepas genggaman Elfita pada bisepnya dan melengos pergi, tapi Arky belum menjelma jadi anak durhaka. Ya meskipun ia tidak bisa dibilang anak yang berbakti pada orangtua.

"Arky, kamu bikin semua orang khawatir. Kamu bikin Bunda khawatir! Kamu kemana aja? Kenapa kamu ga pulang? Kenapa kamu ga masuk sekolah? Kamu punya masalah apa, Arky? Kalo kamu kenapa-napa di luar sana gimana? Kamu ini selalu aja buat Bunda kepikiran!"

Arky menghela nafasnya lagi. Ia membalik badannya dan menatap ibunya dengan tatapan dingin seperti biasa.

"Maaf," hanya itu yang ia ucapkan kepada Elfita.

Arky kembali berbalik dan hendak melengos pergi ke kamarnya, namun Elfita lagi-lagi mencegahnya.

"Arky, kalo kamu punya masalah kamu bisa cerita sama Bunda. Kalo kamu butuh sesuatu, kamu bilang ke Bunda. Bunda ini ibu kamu. Kamu masih punya keluarga. Kamu gak sendirian. Kalo kamu kenapa-napa, Bunda orang yang paling ngerasa bersalah. Tolong Arky jangan buat Bunda khawatir. Bunda kaya gini karna Bunda sayang dan peduli sama kamu, Arky."

Arky bisa merasakan dadanya bergemuruh mendengar kalimat yang diucapkan ibunya barusan. Nada suara ibunya penuh dengan cinta dan ketulusan yang entah kenapa tiba-tiba membuat emosi Arky menjadi sulit dikontrol. Arky merasa dadanya sesak dan tenggorokannya seperti tersangkut sesuatu. Lidahnya kelu dan matanya memanas.

Tidak, ia tidak akan menangis seperti perempuan.

"Arky—"

"Jangan peduli sama Arky," ujar Arky kemudian dengan nada sedingin es. "Arky gak bisa buat Bunda bahagia. Dari dulu Arky cuma bisa buat Bunda kecewa."

Arky melangkah menaiki tangga dan meninggalkan Elfita yang masih tercenung mendengar kata-kata yang diucapkan anak laki-lakinya. Elfita membeku, sedangkan Arky merasa tubuhnya digerayangi gelenyar aneh yang entah kenapa tiba-tiba membuat air mata mendesak di pelupuk matanya.

Arky mengerjap, sebisa mungkin ia berusaha mengenyah air mata dan perasaan aneh yang menyelimuti dirinya.

"Maaf, Arky selalu ngecewain," bisik Arky lirih, entah kepada siapa. Dirinya sendiri atau ibunya yang jelas-jelas tak mendengarnya.

****

Silvia mendengar suara pintu berdebam. Ia yang sedang mengerjakan tugas akutansi pun langsung tersentak.

TS [3] Fixed Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang