Anger, Disappointment and Loss

46 4 0
                                    

-"I don't regret loving you. I don't regret any moment we spent together. I just wish I had seen the signs."-

****

Arky bersiap-siap untuk berangkat ke sekolahnya selepas magrib. Meskipun selama ini Arky menganggap sepele pementasan drama itu, tapi kali ini, Arky memutuskan untuk datang ke gladiresik seperti permintaan Febby dan Alde tadi siang. Ia mulai berpikir kalau sikapnya sudah sangat keterlaluan belakangan ini terutama kepada Febby. Melihat perempuan itu menangis dan sangat emosi tadi siang sebenarnya cukup menggoyahkan Arky. Ia tidak suka melihat Febby menangis, ia ingin sekali merengkuh perempuan itu dan menenangkannya seperti yang biasanya ia lakukan tapi terpaksa ia tahan semuanya.

Malam ini Arky harus membayar perbuatannya, ia akan datang ke latihan terakhir dan menunjukkan pada Febby bahwa ia tidak akan mengecewakan siapa pun, baik itu Febby maupun teman-teman sekelasnya. Ah, itu benar-benar tanggung jawab yang besar bagi Arky, selama ini semuanya biasa saja saat ia tidak memperdulikan siapapun. Ini adalah efek dari sikap dan rasa kepeduliannya. Arky merutuki itu semua.

Arky keluar dari kamarnya dan menuju ruang makan untuk makan malam bersama. Disana sudah ada kedua orangtuanya yang lebih dulu menikmati makan malam.

"Mau kemana, Ky?" tanya Elfita, ibu Arky.

"Ke sekolah, Bun, ada gladiresik," jawab Arky sembari duduk di kursi tepat di hadapan ayah dan ibunya.

"Gladiresik apa?" kini gantian Ryan, ayahnya, yang bertanya.

"Pensi."

Ryan dan Elfita mengangguk-angguk. Arky mulai melahap makanan di piringnya. Saat sedang menikmati makan malam, ia menyadari kalau aada yang kurang disana. Arky melihat ke kursi kosong di sampingnya dan teringat satu hal.

"Silvia mana?" tanyanya.

"Mungkin di kamarnya, Ayah ga liat dia dari tadi," jawab Ryan kemudian beralih menatap istrinya "apa udah makan malam duluan ya, Bun?"

"Kayanya belum. Dari sore dia ga ada keluar kamar."

Arky mengernyit heran. Ia bertanya-tanya apa yang dilakukan SIlvia seharian di dalam kamarnya. Tidak biasanya Silvia telat atau melewatkan makan malam dengan mereka bertiga seperti ini. Atau jangan-jangan Silvia belum diantar pulang oleh Yori?

Arky tersentak. Ia langsung meletakkan sendoknya dan bangkit. Ia menghiraukan panggilan kedua orangtuanya, ia bergegas menuju kamar Silvia yang ada di lantai dua.

Sesampainya di depan pintu kamar Silvia, Arky langsung mengetuk pintu berwarna putih itu. Dua kali Arky memanggil nama perempuan itu dan tak ada jawaban. Arky kembali menggedornya dengan kencang dan berteriak memanggil namanya. Entah kenapa perasaan kalut tiba-tiba menggerogoti hatinya. Ia merasa deja vu seperti beberapa tahun lalu saat ia menemukan kembarannya meninggal di dalam kamar yang terkunci.

Arky ketakutan. Cepat-cepat ia menghapus kenangan itu. Diketuknya pintu kamar itu sekali lagi dan kembali memanggil nama Silvia. Masih sama tak ada jawaban juga. Arky menekan tuas di pintu dan ternyata pintu itu tidak dikunci. Ia mendorong pintu sampai terbuka setengah dan melongokkan kepalanya ke dalam.

"Sil? Silvia?"

Kamar itu gelap, lampunya mati dan jendelanya masih terbuka. Silvia tidak ada di dalam sana. Ia pasti belum diantar pulang oleh Yori. Arky menggeram, ditutupnya pintu kamar Silvia. Ia buru-buru merogoh kantongnya dan mengeluarkan ponselnya dari sana.

Notifikasi yang masuk diabaikan olehnya. Ia langsung mencari kontak Silvia dan menghubunginya. Sayangnya Arky tidak mendapatkan jawaban, hanya ada suara operator di sebrang sana yang mengatakan kalau nomor tersebut tidak dapat dihubungi. Arky menggeram. Ia mencoba menghubungi Yori dan hal yang sama terjadi.

TS [3] Fixed Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang